24 April 2022~
Beberapa saat yang lalu, sebuah mobil ambulance berhenti di depan pintu IGD, mengeluarkan seorang pasien perempuan dengan kondisi yang memilukan.
Tsabita. Gadis itu menjadi korban kecelakaan mobil yang menghantam Halte 127 tepat sebelum taksi yang ia berhentikan berhenti di depan Halte.
Tubuhnya terhimpit bagian depan mobil dan besi bangunan Halte. Butuh sekitar 20 menit untuk melakukan evakuasi.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, ia mengalami 2 kali muntah darah. Kondisinya tidak baik-baik saja. Namun, ia masih sadar penuh walau tidak mampu berkata apa-apa.
Begitu ia tiba di IGD, dokter jaga dan seorang dokter lainnya. dr. Alya ShafiraㅡBunda dari Tsabita sendiri.
Awalnya, Alya tidak menyadari bahwa itu adalah anaknya. Luka di wajah gadis itu membuat Alya tidak menyadarinya. Apalagi masih cukup banyak darah yang menempel di area wajah.
Setelah suster membersihkan wajah gadis itu, barulah Alya tersadar. Seketika kakinya lemas, tangannya gemetar, matanya berair dan kemudian menangis.
“Ts-Tsabita?” panggil Alya sambil mendekati gadis yang masih terbaring lemah di brangkar rumah sakit itu.
Mata gadis itu melirik ke arah sumber suara, menatapnya sendu. Kening gadis itu mengeryit, karena kembali merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
“dr. Alya, kondisi pasien belum terlalu stabil untuk dilakukan operasi, apakahㅡ”
“Tsabita ini, Bunda.” Alya tidak peduli dengan apa yang dikatakan suster padanya.
Mendengar ucapan sang dokter pada pasien itu, membuat 2 suster yang sedang membersihkan tangan dan perut Tsabita terkejut. Bunda, katanya.
“Tsabita kenapa? Ts-Tsabita… t-tolong, t-tolong hubungi dr. Tirta atau dokter bedah siapapun. TOLONG BANTU ANAK SAYA!!!” Tiba-tiba Alya menjadi histeris.
Mendengar jeritan itu, suster yang berjaga langsung buru-buru menjalankan perintah Alya.
Tsabita, gadis itu terus menatapnya. Dapat dilihat bahwa air matanya mengalir membasahi wajahnya.
“Tsabitaㅡ”
“S-Sakit,” lirih Tsabita sambil memejamkan matanya.
“A-Apanya yang sakit, nak? Nanti Bunda obatin, ya?”
“B-Bunda, s-sakithh….” lirihnya lagi dengan suara parau.
Tak selang beberapa menit, Tirta datang. Kebetulan dokter itu masih berada di ruangannya. Ia langsung menyuruh tim bergerak untuk dilakukan operasi.
Mereka semua bergerak, mendorong brangkar itu menuju ruang operasi. Namun tepat mereka keluar, Johan datang dengan wajah panik.
“Tsabita? Anak Ayah?!” Ucapnya terkejut melihat kondisi anaknya yang memilukan.
Tsabita melirik Johan, “A-Ayah….” Ucapnya pelan.
“Iya, nak. Ayah di sini. Ts-Tsabita anak Ayah yang hebat, bertahan ya, nak.”
“S-Sakit, A-Ayahh….” Tiba-tiba tangan Tsabita menggenggam tangan Johan dengan erat.
Johan membalas genggaman tangan gadis itu, mengusapnya pelan sebelum kemudian menciumnya.
“Tsabita tenang aja, Dokter akan bantu Tsabita. Tsabita yang kuat ya, sayang. Tsabita anak hebat Ayah pasti sembuh, oke?”
Tsabita tidak menjawab ucapan sang Ayah, ia hanya menggenggam tangan kesayangannya itu semakin erat. Keningnya kian mengkerut, menahan sakit.
“Segera bawa ke dalam! Kita tidak punya waktu lagi.” Titah Tirta yang memimpin, kemudian mereka masuk ke dalam Ruang Operasi.
Tidak rela, tapi harus. Johan melepas genggaman tangan sang anak. Namun matanya tidak lepas dari sosok yang kini masih terdiam di hadapannya.
“Kamu keterlaluan, Al.” Ucap Johan, yang jelas didengar Alya dan Tirta.
“dr. Alya, pasien biar saya saja yangㅡ”
“Saya akan ikut, dr. Tirta, s-saya harus menyelamatkan anak saya.” Kemudian Alya ikut masuk ke dalam Ruang Operasi.
Tirta tidak bisa mencegahnya, dan membiarkan Alya masuk ke sana. Kemudian ia mendekati Johan.
“Kami akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan.” Ucapnya.
“Tolong anak saya, Dok.” Pinta Johan.
“Akan kami usahakan.” Balas Tirta, lalu ia kembali ke IGD untuk mengambil sesuatu sebelum masuk ke dalam Ruang Operasi.
Sementara di dalam ruangan dingin tersebut, Alya tidak hentinya terisak. Lengkap dengan jubah hijau, penutup kepala, dan masker, ia mengusap wajah anaknya.
“Ts-Tsabita?”
“Bunda cantik.” Kata itu keluar dari mulut Tsabita dengan lantang.
”...”
“Tapi Bita s-sakit.”
“Iya, nak. Bunda tau. Maaf. Maafin Bunda, Tsabita.”
Belum sempat Tsabita bicara lagi, gadis itu kembali muntah darah. Alya dengan cepat membersihkan wajah anaknya, tidak peduli apapun lagi. Bahkan ia tidak butuh tissue atau semacamnya.
“Dok, kita harus segera memberikan anestesi.” Ujar seorang dokter anestesi yang ada di sana.
Menghela napas, Alya mengangguk sambil menggenggam tangan Tsabita.
Namun baru sempat jarum itu menusuk kulitnya, Tsabita menggenggam tangan Alya sangat kuat, dan menggeleng sekencang yang ia bisa.
Alya dengan cepat menahan dokter anestesi untuk tidak melanjutkan pekerjaannya.
“B-Bita mau s-sama Bunda.” Ucap Tsabita terbata-bata.
“Iya, Tsabita sama Bunda di sini. B-Bunda ngga akan ke mana-mana.”
“B-Bunda say-sayang Bita?”
Alya mengangguk kencang, sambil kembali meneteskan air matanya. Dan ia melihat bibir Tsabita tersenyum, walau gadis itu tengah menahan rasa sakit.
“Anestesi sudah disunㅡ” Tirta yang masuk langsung terdiam melihat Alya dan Tsabita sedang berbincang pelan di tengah.
“B-Bita juga… B-Bita sayang B-Bunda.” Ucapnya tersengal, “T-Tapi Bita b-belum bisa j-jadi bintang hhhh Bunda yah?”
Rasa sakit menusuk dada Alya seketika. Membicarakan tentang 'bintang', iya tahu semuanya. Namun ia jadi tidak bisa mengatakan apapun tentang itu. Terlalu sakit untuknya, karena ia merasa sangat jahat pada anaknya sendiri.
“Sudah, nak. B-Bita udah jadi bintangnya Bunda. Sama seperti Bita jadi bintangnya Ayah dan Sadam. Bita… udah jadi bintangnya Bunda, sayang.”
Gadis itu kembali tersenyum, “Bita berhasil ya, Bun?” bisiknya, “Bintang terakhir Bita… berhasil Bita g-gapai?”
Alya mengangguk, “Iya. Bita berhasil. Bita anak Bunda yang hebat. Sekarang, Bita bertahan ya, kami obatin Bita supayㅡBITA!!!”
Tiba-tiba tubuh Tsabita mengejang. Napasnya kembali tersengal-sengal. Namun dengan mata yant masih sedikit terbuka, gadis itu menatap Bundanya, seakan mengatakan 'terima kasih'.
Dan detik selanjutnya, tubuh itu sudah tidak ada pergerakan. Monitor yang sebelumnya berbunyi putus-putus, kini sudah berubah menjadi satu buah suara tanpa putus dan tidak berhenti berbunyi.
“Tsabita! Tsabita bangun!!” Alya menepuk pipi anaknya, “Tsabita jangan bercanda, nak! Bunda ngga suka!” Ucapnya histeris.
“dr. Alyaㅡ”
“TSABITA!!! TSABITA BANGUN!!! TSABITA BILANG MAU PELUK BUNDA?? INI UDAH ADA BUNDA, AYO BITA BANGUN DAN PELUK BUNDA SEKARANG, NAK!!” Pekiknya tanpa merubah apapun.
“dr. Alya, tenangkan diri anda. Tsabita sudahㅡ”
“TIDAK, DR. TIRTA!! TSABITA HANYA BERMAIN DENGAN SAYA!!! BITA, AYO SAYANG BUKA MATA BITA!!!” Alya terus mengguncang tubuh dingin Tsabita.
“dr. Alya, Tsabita sudah pergi.” Ucap Tirta pelan, “Ikhlaskan anak anda, ya?” sambungnya.
Alya tiba-tiba diam. Ia memeluk anak gadisnya yang kini sudah tidak bernyawa lagi.
Napas Alya memelan, karena ia sadar bahwa sekuat apapun ia mencoba Tsabita bangun, anaknya tidak akan bisa hidup lagi.
“Pasien Tsabita Raㅡ”
“Biar saya aja.” Potong Alya, menghentikan ucapan Tirta.
Alya kembali mendekati anaknya, mengusap wajah anaknya sekali lagi. Membenarkan rambut yang menempel di di wajah pucat gadis itu, lalu ia membuka maskernya.
“Ts-Tsabita Raina,” jedanya, “20 tahun, menghembuskan napas terakhir 24 April 2022, pukul 23.25.” Ucapnya parau.
Wanita itu kemudian memeluk tubuh dingin Tsabita, menangis sambil mendekap sang anak.
“Selamat hari lahir, anak Bunda. Maaf Bunda terlambat. Tidur yang nyenyak ya, sayang.” Bisiknya, lalu mengecup dalam kening gadis itu.
Minggu, 24 April 2022, tepat di usia ke-20 tahun, Tsabita Raina pergi meninggalkan dunia dan kembali ke tempat-NYA.
.
.
.
@makaroon99