Day 14

TW // Mention of death


Laki-laki bertubuh kurus itu masih duduk bersandar di atas ranjang di kamar rawat inapnya. Matanya menatap ke televisi yang menyala, namun tidak dengan pikirannya.

Mama dan Papanya ada di sana, tengah makan siang sambil sesekali berbincang pelan. Azka tidak tuli jika orangtuanya berbincang membawa namanya, tapi ia memilih untuk diam guna menetralkan amarah yang masih melanda.

Hingga selesai dua orang itu makan, Mama menghampirinyaㅡraga Shaka. Sementara Papa pergi keluar.

“Shaka?”

Laki-laki itu menoleh ketika Mama memanggilnya dan menyentuh lengannya lembut, “Hm?”

“Masih pusing, nak?” tanya Mama pelan.

Azka menggeleng, “Engga. Kenapa, Ma?”

“Ke ruangannya Azka, yuk!”

“Tumben?”

Mama menghela napas pelan, “Siapa tau kamu kangen kembaranmu. Kita jenguk, ya?”

Azka pun mengangguk. Tidak enak juga menolak, toh yang dilihat juga bukan orang asing. Ya walau terkadang ia sedih dan merinding sendiri melihat raganya terbaring lemah seperti itu. Rasanya, seperti sedang diambang kematian karena jiwa dan raga yang terpisah.

Kursi roda yang didudukinya didorong oleh Mama ke ruangan di mana raganya berada. Di sana sudah ada Papa rupanya yang tengah menyeka lengan Azka.

Rasa sedih menusuk hatinya. Selalu seperti itu setiap melihat raganya sendiri.

“Azka udah tidur lama sekali, Shaka.” Kata Papa, “Dia jauh lebih hebat dan kuat dibanding kamu dulu.”

Azka mengeryit, baru kali ini ia mendengar dipuji oleh Papanya. Tapi terdengar aneh juga.

“Tapi kalau seperti ini terus, kasihan dia. Dokter bilang, harapan Azka bangun hanya sedikit, Shaka.” Kata Papa lagi.

“Maksud Papa apa?” Azka akhirnya buka suara.

Mama berjalan dan bersimpuh di sampingnyaㅡraga Shaka, “Kita ikhlaskan Azka, ya?”

Oh, rupanya ini yang ingin dibicarakan. Jelas mendengar itu, amarah Azka yang belum stabil, kembali naik.

“Mama sama Papa ngga sayang sama Azka, ya?” pertanyaan itu keluar dari mulut milik Shaka yang dikendalikan Azka.

“Kami sayang sama Azka, nak. Makanya kami mengajak kamu untuk mengikhlaskannya. Azka terlalu lama seperti ini, kasihan dia.” Kata Papa.

Azka tersenyum miris, “Setelah belasan tahun kalian memperlakukan Azka seperti anak tiri, baru bilang sayang sama Azka? Sekarang Azka seperti ini, justru harus diikhlaskan? Papa sama Mama apa ngga tau kalau Azka lagi berjuang untuk kembali? Walau Azka tau dia ngga akan pernah dapat perhatian dan kasih sayang seperti yang didapatkan Shaka!

Salahnya Azka itu apa sih, Ma? Pa? Anak kalian itu ada dua! Bukan cuma Shaka! Oke, kalau alasannya kalian seperti ini karena Shaka lemah dan sakit, kalian mau Shaka selalu baik-baik aja, tapi engga dengan membedakan perlakuan kalian pada Azka. Aku sakit hati, Pa! Ma!” Tangis Azka pecah, keluar bersama emosi yang membuncah.

“Sh-Shaka jangan salah paham dulu, nak. Kami tau kalau kami tidak seharusnya seperti ini, tapi kami belum bisa. Azka sehat, dia bisa melakukan banyak hal sendiri, tapi tidak dengan kamㅡ”

“Jadi maksud Mama Shaka ngga mampu?? Dan harus jadi lemah dulu kalau mau kalian sayang?? SEPERTI AZKA YANG SEKARANG, BEGITU?? IYA, MA??”

“Shaka!! Jangan membentak Mamamu!!” Tegur sang Papa menahan sang istri yang terkejut ketika dibentak anak kesayangannya.

“Kenapa kamu kasar seperti ini? Jaga emosi kamu, Shaka. Kendalikan!” Kata Papa lagi.

“Lalu apa pernah Papa dan Mama kendalikan emosi di depan Azka? Kalian bisa? Engga!” Balas Shaka.

“Kenapa jadi membahas Azka terus sih?”

“Papa, udah!” Kini Mama menegur sang suami, “Shaka….” Tangan wanita itu menghapus air mata di wajah milik Shaka, namun Azka yang merasakan sengatan itu. Lembut.

“Mama bahkan ngga pernah ngusap wajah Azka selembut ini,” ucapnya pelan. Air matanya menetes lagi.

“Shaka…”

“Kalau lemah bisa membuat Azka dapat banyak usapan lembut Mama, Azka mau jadi seperti Shaka aja.” Azka seakan kehilangan keinginannya yang tadi. Jadi Azka sendiri.

“Shaka, kamu bicara apa, hm?” Mama sedikit panik, lalu memeluk sang anak lembut sambil mengusap punggungnya, “Maafin Mama, sayang.”

“K-kalau lemah bisa membuat Azka dipeluk Mama, Azka mau. Bahkan kalau kematian bisa membuat Mama sama Papa peluk Azka, cium Azka, Azka ngga apa-apa.” Isak Azka.

Mama mengeryit, pun dengan Papa. Kemudian Azka mendengar Mama dan Papa berbicara, namun sayang terlalu bising sehingga ia tidak bisa mendengarnya begitu jelas.

Hingga kemudian Azka merasakan telinganya berdengung. Dengungan itu begitu kencang sehingga membuat detak jantungnya terasa berdetak sangat cepat, serta kepala seperti diremat kuat.

Sesaat kemudian Azka merasakan semuanya sunyi. Tidak ada suara apapun. Bahkan hanya putih yang dapat ia lihat di depan matanya.


@makaroo99