Flashback
Naresh dan Rafa akhirnya pulang berdua menggunakan mobil setelah Adam minta untuk mereka pulang lebih dulu.
Di jalan yang sepi dengan ditemani tiang lampu jalanan, keduanya menikmati kesunyian di dalam mobil yang sangat dingin.
Memang tidak jarang mereka diam seperti ini, tapi untuk malam ini, rasanya sangat berbeda dari biasanya.
Apalagi jika bukan karena perdebatan beberapa jam lalu. Bohong jika tidak mereka pikirkan, terutama Rafa, ia yang terlibat langsung dengan perdebatan dengan kakak dan adiknya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit tadi, Rafa memang sangat panik dengan keadaan Naresh, tapi ia juga tidak mengabaikan Hasaㅡadik yang mungkin ia lupakan.
“Kak, Hasa udah tidur belum, ya?” tanya Naresh membuyarkan lamunan Rafa.
“Udah, kali? Ini hampir tengah malam, Resh.”
“Uhm,” Naresh kembali melempar pandangnya lagi keluar jendela, “Hasa pasti sakit, ya, Kak?”
Rafa menoleh beberapa detik pada Naresh, kemudian ia menghela napas karena siap-tidak siap mereka harus membahas Hasa dalam keadaan seperti ini.
Bukan berarti Rafa tidak peduli, hanya saja ia seperti belum siap membahasnya. Ia masih cukup terkejut dengan hal fatal yang bahkan selama ini tidak ia tahu.
Tentang Hasa, alergi, dan mirip Ayah. Sejak dulu, Rafa memang tidak peduli dengan Hasa, juga Naresh. Ah, dengan Arsen saja ia tidak peduli. Yang ia lihat pada Arsen adalah saingan kuatnya.
Sejak kecil, Rafa selalu bertengkar dan berebut Adam dengan Arsen. Ia tidak suka anak kecil, ia tidak suka memiliki adik, ia tidak suka Arsen ada. Menurutnya, Arsen merubah atensi kedua orangtuanya.
Apalagi ketika beranjak dewasa. Ia yang semula nampak seperti sosok minoritas di hadapan orangtuanya, semakin merasa demikian karena perlahan Arsen mulai menarik perhatian orangtuanya.
Dalam hal akademik, tidak ada anak yang bodoh di keluarga Giantama. Semua pintar, bahkan dengan Hasa. Tapi, kepintaran si bungsu itu berbeda sedikit dengan kakak-kakak dan kembarannya.
Pun dengan Rafa sendiri, ia termasuk salah satu siswa berprestasi, ia selalu mendapat peringkat 5 besar setiap semesternya sepanjang ia duduk di bangku sekolah.
Tapi, ia tidak paham, kenapa hanya Arsen yang dibanggakan dan dieluhkan oleh kedua orangtuanya kala itu? Kenapa setiap perbincangan dalam acara apapun, hanya Arsen yang dibanggakan?
Sekuat tenaga Rafa berusaha untuk terlihat, namun usahanya seakan selalu kurang. Sampai ia harus dibanding-bandingkan dengan saudarnya di masa SMP waktu itu.
Belum selesai persaingannya dengan Arsen, ia pun merasa cemburu dengan Hasa. Si bungsu itu juga tidak luput dari perhatian orangtuanya. Bisa dikatakan, tahta tertinggi ketiga yang tak lepas atensi dari orangtuanya adalah Hasa setelah Naresh dan Arsen.
Sejak kecil, Hasa dan Naresh tidak bisa dipisahkan. Ke mana ada Hasa, di situ ada Naresh. Bahkan selama mereka sekolah pun, mereka akan berada di kelas yang sama. Tepatnya, sampai duduk di bangku SMP.
Dan karena ketelatenan Hasa mengayomi Naresh, sejak kecil ia mendapat perhatian khusus itu dari orangtuanya. Hal itu tentu membuat Rafa iri.
Sampai akhirnya, ia mencoba mendekatkan diri pada Naresh. Tepatnya saat ia lulus SMA dan si kembar baru akan masuk SMP.
Ia pikir, mendekatkan diri pada adiknya itu akan mudah, ternyata sulit. Bukan karena Naresh yang sulit didekati, melainkan dirinya sendiri yang sejak kecil memiliki benteng tersendiri untuk adik-adiknya.
Tapi lama kelamaan, dekat dengan Naresh jadi hal yang mudah. Apalagi ketika ia sering mengajak Naresh jalan-jalan, disitulah orangtuanya baru meliriknya.
Apakah Rafa senang karena itu? Tentu saja. Bahkan rasanya ia seperti baru hidup.
“Ah, begini rasanya diperhatikan khusus oleh Ayah dan Bunda?” Batin Rafa kala itu.
Namun sayang, 2 tahun setelahnya, kedua orangtuanya harus pergi. Rafa yang tengah diambang rasa bahagia, seperti dijatuhkan bom atom. Ia masih ingin merasakan semua itu. Ia masih ingin berbahagia dengan Ayah dan Bundanya.
Sejak itu, Rafa memutuskan untuk menjadi sosok Kakak yang lebih baik untuk Naresh. Yang ada di pikirannya saat itu, ia harus bisa membuat orangtuanya bahagia di sana dengan ia yang terus menjaga dan mengayomi Naresh. Ia menyayangi Naresh, sangat.
Namun, Rafa tidak menyadari bahwa ia salah. Ia hanya melakukan itu pada Naresh, seakan lupa dengan adik satunya lagi. Hasa.
Selama orangtuanya masih ada, ia tidak pernah terlihat memperlakukan Hasa layaknya seorang adik seperti yang ia lakukan pada Naresh. Jahat, bukan?
Kembali ke dalam mobil, Naresh kini menatap Rafa.
“Dulu gue pernah liat Hasa sakit. Kalau Kak Rafa ingat, Hasa pernah tidur selama dua atau tiga hari di rumah sakit. Tapi dia di sana hampir dua minggu.”
Deg
Jantung Rafa berdebar. Ia ingat. Tentu saja. Tapi karena dulu ia tidak peduli dengan Hasa, ia bersikap biasa saja seakan tidak ada apa-apa. Karena saat itu, atensi Hasa tidak terlalu penting untuknya.
“Iya, ingat.” Jawab Rafa akhirnya.
“Kak Rafa pernah tau Hasa ngga bisa main-main sama teman-teman di lapangan? Hasa minum banyak obat? Pakai obat semprot setiap hari? Hasa sakit.”
”...” Rafa terdiam. Ia tidak tahu.
“Tapi selama ini gue ngelupain hal itu semenjak Ayah sama Bunda bilang kalau Hasa udah sembuh sejak dia tidur dua hari waktu itu. Gue ngga pernah ingat lagi, Kak. Apapun itu tentang Hasa, bahkan kalian, gue ngga ingat.”
”...”
“Seandainya waktu itu gue ngga kecelakaan, gue pasti ingat semuanya, Kak. Gue ngga akan lupa kalau Hasa mirip banget sama Ayah.” Suara Naresh bergetar.
Mendengar ucapan Naresh, Rafa baru tersadar kembali. Hasa mirip Ayah. Semuanya, bahkan wajahpun paling mirip dengan pria itu.
Dan seketika tentang Ayahnya terngiang di kepalanya. Ayah alergi dengan banyak hal, makanan dan bahkan debu. Ayah juga tidak bisa beraktivitas yang menguras tenaga karena Ayah memiliki asma akut. Dan ya, itu semua Ayah turunkan pada Hasa.
Hasa anak Ayah, sini jangan capek-capek. Temenin Ayah sama Naresh aja di sini, nak.”
Rafa ingat betul ketika di rumah sedang melakukan kegiatan yang melelahkan, Ayah akan selalu memanggil Hasa seperti itu. Pantas saja, karena Hasa mengikuti jejak kesehatan Ayah.
Sayangnya, Rafa sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya dirasakan Hasa. Rafa tidak tahu apa yang terjadi pada Hasa yang selalu jadi tahta tengah keluarga. Padahal apa yang Hasa dapatkan selama ini dari orangtuanya, karena segala hal yang bersangkutan dengan Naresh.
Hasa nampaknya baik-baik sajaㅡbegitu yang Rafa lihat. Anak itu tidak pernah menuntut apapun pada kakaknya dan orangtuanya, anak itu bahkan tidak pernah protes dan komentar apapun.
Ya, yang Rafa tahu, Hasa selalu terlihat baik-baik saja. Dulu.
Dan setelah ia memikirkan malam ini, ia menjadi merasa sangat buruk sebagai kakak.
Bahkan jika diingat, rasanya sangat sedikit kebaikan yang pernah ia lakukan untuk Hasa. Atau mungkin tidak pernah? Entahlah.
Yang jelas saat ini, dada Rafa terasa penuh dan sesak.
@makaroon99