Hasa dan Abang

Beberapa saat ketika Hasa dengar tidak ada suara ribut lagi, ia memberanikan diri membuka pintu kaamr Adam. Ia mengintip keluar dan melihat bahwa 2 kakaknya tengah duduk terdiam. Tidak ada Arsen di sana, yang artinya mereka sudah selesai.

Dengan takut, Hasa melangkah mendekati kedua kakaknya, “Mas, Kak, Naresh kumat lagi.”

Sedetik kemudian, Adam dan Rafa melesat ke dalam kamar untuk melihat keadaan Naresh. Dan benar, si bungsu tengah memegangi kepalanya yang sakit.

Beberapa saat kemudian, Adam dan Rafa membawa ke rumah sakit. Dan lagi, Hasa didiamkan begitu saja seakan dia tak ada di sana.


Hasa memutuskan untuk duduk di halaman depan rumahnya sambil menikmati sepoi angin malam. Ia juga menunggu kabar Naresh dari Adam atau Rafa.

Tatapan mata Hasa terlempar jauh ke langit, menatap hamparan bintang di tengah kegelapan.

“Sa?”

Laki-laki itu menoleh ketika suara Arsen menginterupsinya, namun ia tidak bereaksi seperti biasa. Ia kembali melakukan hal seperti sebelumnya.

Bukan ia tidak menghargai kakaknya, ia hanya berpikir tentang acara makan pizza yang gagal malam ini.

“Gue ngga tau tadi lo dengar atau engga, tapi gue udah muak, Sa.” Ujar Arsen.

Hasa terdiam beberapa saat sampai Arsen menyusul duduk di kursi sebelahnya. Diamnya bukan berarti diam tak berarti, ia hanya masih berpikir. Ia juga dengar apa yang tadi kakak-kakaknya perdebatkan, walau sambil menenangkan Naresh.

“Harusnya Abang ngga usah ungkit itu ke Mas sama Kakak,” ucap Hasa akhirnya.

Arsen menoleh pada adiknya sambil mengeryit.

“Hasa ngga mau bikin mereka atau Abang khawatir. Hasa ngga mau bikin beban kalian bertambah cuma karena hal sepele kayak gini. Ngga penting.”

“Ini bukan hal sepele, Sa. Ini menyangkut diri lo, kesehatan lo. Apanya yang ngga penting?” sentak Arsen.

“Bukannya semua yang ada di diri Hasa itu ngga penting, Bang?” pertanyaan Hasa terdengar begitu putus asa di telinga Arsen, sehingga membuat hati laki-laki 22 tahun itu teriris.

“Sa….”

“Kadang, Bang, Hasa mau ngadu ke kalian, tapi Hasa takut. Hasa pengen kayak Naresh, tapi Hasa takut dibilang ngga beryukur. Hasa juga ngga berani ngeluh karena rasanya akan percuma. Semua berpusat sama Naresh, sementara Hasa… H-Hasa pengecut, ya, Bang?” Hasa kemudian tertunduk dalam.

Yang Arsen lihat, pundak sang adik naik-turun dibarengi suara isakkan. Hasa menangis. Dan untuk pertama kalinya, Arsen mendengar Hasa menangis.

Ia pun akhirnya mengusap punggung Hasa, “Sa, ngga ada salahnya sekali-kali mengeluh dan bilang iri, itu ngga akan merubah seseorang jadi pengecut.”

Tidak ada jawaban dari Hasa, namun isakkannya semakin kuat. Arsen yang tidak pernah mengalami hal ini, sampai tidak tahu harus bagaimana guna menenangkan Hasa.

“Sini, Sa?” kata Arsen sambil menarik pundak Hasa.

Detik itu juga, Hasa meletakkan kepalanya di dada Arsen. Dan malam itu untuk pertama kalinya, Hasa menangis di hadapan kakaknya.

“Abang, maafin Hasa. Hasa diam cuma karena ngga mau nyusahin kalian. Maaf.”


@makaroon99