Hasa Lagi
Hasa baru saja memarkirkan motornya di halaman rumah. Hari ini ia dan Naresh pulang sedikit terlambat karena ia ada kegiatan kecil di ekskul radio sekolahnya. Hanya bantu-bantu sedikit kok.
Naresh masuk lebih dahulu sebelum meletakkan helm pada rak yang ada, kemudian disusul Hasa di belakangnya.
Terlihat kakak-kakaknya sudah pulang dan kini tengah menyiapkan makan malam. Adam dan Rafa tentunya. Sementara Arsen baru selesai dari kamar mandi dengan rambut basah.
“Masak apa, mas?” tanya Naresh.
“Kerang balado sama cumi asam manis, tadi dikasih teman yang punya usaha seafood. Tapi Mas sama Kakak bikin nggak terlalu pedas, ya.” Jawab Adam.
Mata Naresh seketika berbinar, mengingat itu adalah makanan kesukaannya. Sementara Hasa, usai salaman dengan para kakaknya, ia langsung naik ke atas. Seperti biasa, ia akan mandi terlebih dahulu lalu bergantian dengan Naresh.
Hanya 15 menit waktu yang Hasa butuhkan untuk bersih-bersih, ia langsung turun dan sedikit membantu sisa pekerjaan kakak-kakaknya di dapur.
Belum sempat ia menyentuh bekas peralatan masak yang kotor di wastafel, Adam memanggilnya untuk duduk.
Entah feeling atau apa, Hasa jadi teringat tentang perasaannya yang siang tadi tidak enak. Apa iya berhubungan dengan mereka? Batinnya
“Kenapa, Mas?” tanya Hasa setelah duduk.
Adam, Rafa, dan Arsen saling melempar pandang. Hal itu membuat Hasa jauh lebih gugup dari sebelumnya.
“Sa, kami udah ngumpulin biaya untuk uang muka operasinya Naresh.” Buka Adam.
“Oh, ya? Syukur kalau gitu, Mas.” Napas Hasa lega dengan senyum tulusnya.
“Tapi masih kurang. Kami butuh biaya tambahan, Sa.”
Hasa mengeryit, seketika perasaan tidak enaknya itu kembali lagi. “Hmm, lalu… Hasa harus apa, Mas?”
“Lo bisa bantu kami, Sa?” tanya Rafa.
“Bantu gimana? Kakak 'kan tau sendiri Hasa ngga punya tabungan.” Jawab Hasa.
“Motor,” ucap Rafa pelan sedikit tidak enak.
“Maksudnya, Hasa harus jual motor?” tembaknya.
Adam dan Rafa mengangguk, “Cuma itu yang bisa bantu menutup uang muka, Sa. Gimana?” tanya Adam.
“T-tapi itu 'kan peninggalan Ayah, Mas.” Nada bicara Hasa menurun pelan.
“Kami tau, makanya kami tanya kamu dulu.”
Hasa terdiam untuk beberapa saat, tangannya meremat celana training yang ia kenakan. Matanya melirik ketiga kakaknya ragu.
“H-Hasa ngga tau,” 3 kata keraguan itu keluar dari mulut Hasa.
“Demi Naresh, Sa. Lo ngga mau liat Naresh sembuh? Lo tega dia ngerasain sakit lama-lama?” tanya Rafa yang sedikit terbakar.
Arsen menegur Rafa lewat tatapan tajam dan kening yang sedikit mengeryit. Ia pikir, tindakan Rafa barusan justru membuat Hasa tertekan. Ia juga bisa melihat bahwa Hasa sangat keberatan dengan usul itu.
“Hasa, pikirkan baik-baik, ya? Untuk Naresh.” Kata Adam pelan.
Hasa masih diam, bahkan mulutnya tidak terbuka sedikitpun. Tatapannya masih kosong ke tengah meja, sementara giginya bergemeletuk pelan. Sepertinya ia tengah merasakan kegundahan.
Melihat Hasa yang tidak kunjung menjawab, Arsen akhirnya kembali bicara.
“Kalau gitu jual motor gue aja.”
Ucapan Arsen tentu membuat mereka yang ada di sana terkejut. Terutama Hasa.
“B-bang?” gumam Hasa.
“Lo serius, Sen?!” Rafa tentu tidak percaya.
“Kalau Hasa ngga mau jual motornya, jual aja motor gue. Bisa nutup uang muka bahkan perawatan pasca operasi. Beres, 'kan?” ucap Arsen lantang.
“Sen, itu motor lo dapetin dengan penuh perjuangan banget lho.” Komentar Adam.
“Demi Naresh, 'kan? Ya udah.” Jawab Arsen enteng.
Mendengar jawaban Arsen, Rafa melirik Hasa. Tentu laki-laki 18 tahun itu menangkap sinyal Rafa yang memiliki arti.
“Jangan, Bang! Hasa tau banget perjuangan Abang dapetin motor itu, jangan dijual. Biar Hasa aja yang lepas motor Ayah.” Kata Hasa cepat.
“Tapi, Saㅡ”
“Ngga apa-apa, Bang. Lagipula motor Abang masih bagus banget, kalau motor Hasa kan udah mulai nakal. Kayaknya ngga apa-apa motornya Hasa lepas. Yang penting Naresh sembuh, ya?” jelasnya.
Adam dan Rafa mengulas senyum kecil mereka terhadap Hasa. Sementara Arsen justru kebalikannya. Lalu ia menatap Rafa tajam tanpa sang kakak tahu.
Sementara Hasa merasakan dadanya berat. Sepertinya karena ia sedih. Namun, dengan akting yang cukup bagus, ia bersikap biasa saja.
Bahkan sampai makan malam selesai dan ia kembali ke kamarnya.
@makaroon99