Hasa Pulang
“Ini ada permen untuk Hasa, tapi jangan bilang siapa-siapa, ya? Nanti setiap pagi Ayah sama Bunda kasih, tapi sembunyi-sembunyi agar ngga diminta yang lain, oke?”
Hari itu adalah 6 Juni 2007, tepat ulang tahun si kembar Hasa dan Naresh. Malam hari, Ayah dan Bunda memberinya sebotol 'permen' berwarna putih.
Hasa yang masih berusia 4 tahun hanya mengangguk. Ia memakan 1 'permen' itu. Namun beberapa saat kemudian wajahnya berubah. Permen hisap itu tidak ada rasanya.
Tapi Ayah dan Bunda meminta Hasa untuk menghabiskannya, dan lagi, anak itu menurut saja. Dan hal itu terjadi setiap hari sampai anak itu terbiasa dengan rasanya.
Padahal, itu bukanlah permen. Itu adalah obat karena selain asma, Hasa memiliki penyakit gagal jantung. Namun akan terkontrol jika kontrol dan minum obat rutin.
Hasa tidak pernah menyadari itu, sampai ia mengerti menggunakan internet di penghujung Sekolah Dasar. Sedikit hancur, tapi Hasa tetap bersikap biasa.
Namun kehancuran sesungguhnya ada ketika orangtuanya meninggal. Dan sejak itu, ia mengabaikan semua yang terjadi pada tubuhnya. Juga Hasa telah berjanji sejak kecil pada Ayah dan Bundanya, bahwa ia tidak boleh membahas apapun tentang gagal jantung yang ia derita.
Tanah itu masih basah, bunga berwarna-warni memenuhi tumpukan tanah hingga tidak terlihat lagi warna cokelat di bawah sana.
Satu persatu pasang kaki melangkah menjauh meninggalkan tempat itu, menyisakan beberapa orang yang masih tertunduk dalam bahkan isak kecil terdengar.
Sekelompok remaja yang bergerombol di sana juga mulai pergi setelah memberi penghormatan terakhir dan meninggalkan seorang yang masih berlutut. Tangannya masih memegang papan, bahkan mencengkramnya kuat.
“Hasa, gue pamit.” Ucapnya pelan, “Selamat istirahat kawan terhebatku.” dan kemudian tangisnya pecah.
Dia adalah Yudhistira.
Cukup lama sampai ia harus ditenangkan seseorang yang ada di sebelahnya, dan ia benar-benar pamit walau hati masih ingin berada di sana.
Sebuah getaran ponsel menginterupsi salah satu dari 3 yang masih berada di sana. Adam. Panggilan dari Rumah Sakit.
“Operasi Naresh udah selesai.” Ucap Adam pelan.
Arsen dan Rafa yang masih berlutut hanya diam. Rafa sedikit menengadah melirik Adam yang tengah berdiri, sementara Arsen sama sekali tidak bergerak.
“Mas…”
“Ngga apa-apa kalau masih mau di sini, gue harus ke sana.” Kata Adam pada Rafa.
“Lo berdua pergi aja,” ujar Arsen, “...gue masih mau di sini.”
“Sen,”
“Hasa baru masuk, kalau ditinggal nanti dia langsung kesepian, Mas.” Kata Arsen lagi.
“Nanti gimana lo pulang?” tanya Rafa.
“Gampang.”
Akhirnya Adam dan Rafa meninggalkan tempat itu walau sebenarnya langkah kaki mereka masih terlalu berat. Namun, ada Naresh yang juga butuh mereka di sana. Takut jika si bungsu siuman tidak ada orang.
Arsen benar-benar masih di sana sampai beberapa waktu. Ia sama sekali tidak bergerak dari makam sang adik.
“Katanya lo mau nunggu Naresh bangun, Sa?” tanya Arsen pada nisan milik Hasa.
“Ini yang lo bilang mau pulang? Lo pulang ke tempat Ayah sama Bunda? Bukan ke rumah kita, Sa?” air mata Arsen yang sejak tadi tidak keluar akhirnya keluar.
Entah kenapa sejak tadi ia sangat sulit mengeluarkan air mata. Ia seakan dejavu dengan keadaan tadi. Ketika orangtuanya meninggal namun Hasa tidak menangis, tapi nyatanya terasa sangat sakit. Beginikah perasaan Hasa waktu itu?
“Sakit banget, anjir, Hasa. Lo jahat banget ninggalin gue. Padahal gue masih berusaha supaya bisa jadi abang yang baik buat lo. Tapi… KENAPA, ANJING, SA?”
Arsen memeluk makam Hasa, meremat tanah yang bisa ia genggam guna menyalurkan rasa sakit dan sedihnya.
“Lo udah ngga sakit 'kan sekarang? Dan lo juga senang, 'kan, Sa? Lo udah ngucap perpisahan walau kami ngga ada yang sadar, bahkan ke Naresh tadi pagi. Makasih buat semuanya, Sa. Sekarang tidur yang nyenyak, ya.”
Dengan sekuat hati Arsen mengucap kalimat itu. Sakit bukan main, tapi ia harus. Dan yang sakitnya lagi adalah, ia takkan bisa melihat dan memeluk adiknya lagi, bahkan untuk selamanya.
Nuraga Hasa Giantamaatau yang kerap disapa Hasa, ia menghembuskan napas terakhirnya setelah 1 jam berada di ruang ICU.
Kepergiannya bukan karena ia tidak bisa diselamatkan, tapi pemuda itu yang sudah terlalu lelah.
Sehingga ia memutuskan untuk pergi.
“Hasa mau pulang boleh? Hasa udah lelah, Hasa mau istirahat. Sekarang 'kan Naresh udah ada Mas, Kakak, dan Abang. Nanti Hasa jaga Naresh dari atas aja, ya, sama Ayah dan Bunda. Hasa pamit.” ㅡHasa, 17 April 2022, 09.01
@makaroon99