Ikhlas.

.

.

Pemakaman Tsabita baru saja selesai. Para pelayat satu per satu meninggalkan area pemakaman, dan kini menyisahkan orang-orang terdekat mendiang Tsabita saja.

Di tanah yang masih basah dan berbunga itu, Alya masih terduduk. Ia masih tertunduk, mencengkram gundukan tanah yang menjadi tempat peristirahatan terakhir sang anak.

Menyesal. Sudah pasti ia merasakan penyesalan. Dadanya sesak karena harus merasakan penyesalan terdalam yang akan ia rasakan seumur hidupnya.

“Maaf.”

Kata itu yang selalu keluar dari mulut Alya. Berulang kali ia ucapkan itu sejak semalam. Menandakan betapa menyesalnya ia pada sang anak.

“Mau berjuta-juta kali kamu mengucap 'maaf', Tsabita ngga akan bisa kembali lagi, Alya.” Ucap Johan yang masih ada di sana.

“Aku jahat sekali, Jo.”

“Ya. Kamu memang jahat sekali, Al.”

”...”

“Tapi Tsabita ngga pernah menganggap kamu seperti itu. Dia sayang kamu, bahkan sampai di akhir hidupnya.”

“Tsabita anak baik.” Ucap Alya tanpa sadar.

“Ya, dia bahkan sangat baik. Dia ngga pernah menaruh rasa benci sedikitpun pada siapa saja yang pernah menyakitinya. Terutama kamu.

Maka dari itu, tolong ikhlaskan Tsabita, Al. Maafmu ngga akan merubah apapun apalagi sampai membuat dia kembali. Tapi ikhlasmu yang saat ini sangat dia butuhkan untuk pulang menuju surga-NYA.” Kata Johan tenang.

Pria itu kemudian mengusap punggung Alya pelan. “Ikhlaskan, Alya. Jangan memberatkannya untuk melangkah. Tsabita ngga akan suka.”

Alya menarik napas, lalu menghembuskannya pelan. “Bita… istirahat yang tenang ya, sayang. Maaf karena Bunda ngga bisa jaga Bita selama Bita di sini. Tapi, Bunda janji, Bunda akan jaga Bita dengan doa Bunda dari sini. Ya, sayang?”

Perlahan, Alya melepas genggamannya. Ia mengusap gundukan tanah itu pelan, mengikhlaskan kepergian anaknya.

“Tsabita udah dengar apa kata Bunda 'kan, nak? Istirahat yang tenang. Kami di sini akan terus berdoa untuk Bita di sana. Baik-baik selalu di sana ya, anak Ayah. Tungguin Ayah sama Bunda di Surga.” Ucap Johan.

Kemudian ia dan Alya berdiri, hendak meninggalkan makam anak mereka. Namun begitu berbalik, ia mendapati Sadam yang sebenarnya juga belum kembali meninggalkan Tsabita sejak semalam di Rumah Sakit.

Johan menepuk pundak laki-laki itu, kemudian Sadam justru menunduk dalam. Pria itu memeluk Sadam, menepuk punggungnya.

“Yang ikhlas ya, Dam. Terima kasih sudah menjaga dan menyayangi anak saya.” Ucapnya lalu melepas pelukannya, kemudian ia pergi menjauh dari pemakaman.

Sementara Sadam kini berlutut di samping makam Tsabita, bersama teman-temannya yang masih setia berdiri di belakangnya.

“Bit? Beneran udah di dalam, ya?” tanyanya pada gundukan tanah penuh bunga itu.

Perih sekali hatinya, kini Tsabitaㅡgadis yang ia sayang, sudah berbeda dunia dengannya. Tangisnya semalam, rasa sakitnya semalam ternyata bukanlah mimpi. Namun kenyataan.

“Gimana di sana, tempatnya bagus? Lo ngga sendirian 'kan? Pasti di sana ada temen-temen ya, Bit? Ketemu Mama gue ngga?” tanyanya lagi.

Sadam menunduk dalam. Ia menarik napas dalam, menahan tangisnya, kemudian menengadahkan kepalanya.

“Mendung, Bit. Kayaknya langit juga merasa kehilangan lo deh. Apa jangan-jangan lo di sana lagi sedih juga?” Sadam masih menatap langit, “Jangan, Bit. Lo ngga boleh sedih. Lo harus bahagia di sana.”.

Naufal dan yang lain kini ikut berlutut. Reynard mengusap punggung Sadam, “Keluarin aja, Dam. Jangan ditahan. Tsabita ngga akan marah lo nangis hari ini.”

Ucapan Reynard bak mantra itu, membuat Sadam meneteskan air matanya. Bahkan dalam sekejap, pipinya basah.

Ia menunduk lagi, “Ini ya Bitt alasan lo ngga mau pacaran sama gue? Lo… mau ninggalin gue? Apa ini alasan kenapa di hari terakhir kita ketemu, gue ngerasa lo berbeda, Bit? Ini alasan kenapa gue rasanya ngga ikhlas semalem ninggalin lo, Bit. Bitt… maafin gue belum bisa jaga lo dengan baik. Maaf, Bit.”

“Bukan salah lo, Sadam.” Ucap Javier.

“Bita pergi karena udah takdir-NYA, Dam.” Tambah Naufal.

“Bita udah terlalu lelah berjuang ngga sih, Dam? Makanya dia mutusin buat pergi.” Airin kini ikut bicara.

Dan seketika Sadam tersadar. Tsabita yang lelah mengejar bintang terakhirnyaㅡsang Bundaㅡ, memilih jalan terakhir.

“Lo berhasil menggapai bintang terakhir lo, Bit. Walau sekarang lo harus kembali ke langit menjadi bintang sungguhan.” Ucap Sadam pelan, “Bit, sampai kapanpun, lo akan jadi bintang buat gue. Tolong bersinar dengan terang di atas sana ya, Bit. Temenin gue terus dari sana.” Tambahnya.

“Dan makasih udah jadi bintang paling berharga untuk gue, Bit. Bintangnya Sadam, selamat istirahat.”

.

.

.

@makaroon99