Kalut
Usai berkelut dengan pikirannya, akhirnya Naresh mendekati Hasa yang sejak beberapa menit lalu hanya bersandar di kursi meja makan.
“Sa, sarapannya ngga dihabisin?” tanyanya pelan.
Hasa membuka matanya sedikit, lalu ia menggeleng, “Gue kenyang, Resh.”
“Oatmeal buatan gue ngga enak, ya, Sa?”
Mendengar pertanyaan Naresh, Hasa kemudian duduk dengan tegak dan menatap kembarannya itu.
“Engga kok, emang gue aja yang kenyang, Resh.” Jawab Hasa.
“Kalau emang ngga enak, ngga apa-apa kok, Sa. Jujur aja ke gue. Gue emang ngga sejago lo kalau masㅡ”
“Enak, Naresh. Nih, gue makan lagi deh. Tapi jangan murung gitu.” Potong Hasa sambil menyuap oatmeal miliknya.
“S-Sa, tadi kata lo kenyang?” Naresh bingung melihat Hasa yang terus menyuap makanannya.
“Lo ngga percaya kalau gue bilang ini enak, makanya sekalian gue abisin aja biar lo ngga murung.”
“T-tapi gue ngga apa-apa, kalau emangㅡ”
Prang~
Tiba-tiba Hasa menepis mangkuk beling itu hingga jatuh pecah dan isinya berantakan. Napas Hasa tersengal sembari menatap Naresh yang terkejut bukan main.
“MAU LO APA SIH, RESH? NGGA GUE ABISIN, DISANGKA MAKANANNYA NGGA ENAK, LO OVERTHINKING, MAU GUE ABISIN MALAH LO LARANG. GUE HARUS GIMANA?!!”
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Giantama bersaudara, Hasa berteriak dan membentak saudaranya sendiri.
“HASA?!! LO APA-APAAN??”
Napas Hasa yang semula memburu, kini semakin menjadi-jadi ketika Rafa mendorong tubuhnya agar menjauh dari Naresh. Ia dan 2 saudaranya yang lain datang menghampiri ketika mendengar suara pecahan mangkuk.
Namun, lelaki itu tidak menjawab. Ia hanya masih sibuk dengan pikirannya, bahkan panggilan-panggilan sang kakak ia abaikan.
“Hasa, kamu kenapa, hah?” kali ini Adam yang bertanya, sambil menyentuh kedua pundak Hasa. Namun Hasa menepisnya kencang.
”...”
“HASA!!” Bentak Adam, “Kamu itu kenapa sih?” nada bicaranya masih tinggi.
Hasa masih tidak menjawab, ia justru mengepalkan tangannya dan berjalan ke atas, masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan sangat kencang.
“Resh, ngga apa-apa, 'kan?” tanya Adam pada Naresh.
Laki-laki itu mengangguk pelan dan ketakutan. Ia hanya masih syok dengan sikap Hasa yang amat sangat tidak biasa itu.
“Lo ngapain Hasa deh sampe dia ngamuk gitu?” tanya Arsen.
“Gue ngga ngapa-ngapain, Bang. Sumpah.” Jawab Naresh.
Arsen mengeryitkan keningnya sambil melirik pecahan mangkuk, “Ngga mungkin. Hasa ngga akan ngerusak apapun kalau dia marah.”
“Tapi beneran, Bang. Tadi gue cuma nanya kenapa sarapannya ngga dihabisin, terus dia lanjut makan dan saat gue suruh berhenti, dia marah.”
“Yakin gitu doang?”
“Udahlah, Sen, ngga ada gunanya mojokin Naresh. Lagian kenapa segitu ngga percayanya sih?” Adam menengahi.
“Jelas curiga, seumur gue hidup ngga pernah liat Hasa begitu, Mas. Pasti ada sesuatu,”
“Ngga udah diperpanjang lah, kalau lo mau tau mending tanya Hasa aja dia kenapa. Biar puas dapat jawaban dari yang bersangkutan.” Kali ini Rafa ikut bicara.
Bukannya merespon ucapan Rafa, Arsen justru melengos pergi. Jika diteruskan, akan ada perdebatan hebat lagi. Ia sudah malas, ia enggan untuk berdebat.
Di kamar, Hasa duduk di lantai, memeluk kedua lututnya yang tertekuk. Tangannya memegangi kepala, atau mungkin tengah menggenggam erat rambutnya.
“Demi Tuhan, lo jahat, Sa.” Gumam Hasa.
Sambil beberapa kali ia menegakkan tubuhnya dan bersandar ke dipan ranjangnya, mengatur napas dan kembali dengan posisi semula.
“Harusnya lo ngga boleh kasar, Hasa!” Tegurnya pada diri sendiri, “Lo nyakitin Naresh, Sa!”
Berulang kali Hasa mengatakan hal itu, ia bahkan seperti nampak seseorang prustasi. Belum lagi tangannya gemetar hebat.
Hingga akhirnya pintu kamar terbuka. Memang Hasa tidak berpikiran untuk menguncinya. Ia hanya asal masuk dan menutupnya kencang tadi.
“Sa?” panggil Arsen pelan sambil berjongkok di depan Hasa.
Hasa hanya melirik sedikit, lalu menyampingkan tubuhnya agar tidak berhadapan langsung dengan Arsen.
“Sa, lo kenapa?” tanya Arsen sambil menyentuh pundak Hasa, namun ditepis adiknya itu.
“Jauh-jauh, Bang. Gue jahat! Gue kasar!”
Arsen mengeryit, “Emang lo ngapain?”
“Gue jahat sama Naresh, Bang.” Suara semakin kecil.
“Soal tadi? Lo pasti punya alasan, Sa. Naresh pasti ngomong sesuatu ke lo tadi, makanya lo marah. Iya, 'kan?” Arsen masih berusaha mencari jawaban.
Hasa menggeleng, “Gue jahat, Bang. G-gue kasar. Harusnya dari awal makanannya gue makan habisin biar Naresh ngga kepikiran. T-tapiㅡ”
“Ssttt! Udah, Hasa, udah.” Arsen mengusap punggung Hasa cukup kencang. Ia tidak bisa melihat Hasa yang tidak biasa ini. Wajah merah, mata sembab, suara gemetar. Itu bukan Hasa.
“Ayah sama Bunda selalu bilang gue harus selalu baik sama Naresh, t-tapi hari ini gue jahat, Bang. M-mereka pasti marah. BANG, GUE HARUS GIMANA??” tiba-tiba Hasa berteriak.
Namun usai berteriak, napas Hasa nampam memburu, kemudian terdengar mengi atau napas yang berbunyi. Keningnya mengeryit kuat, serta tangannya meremat dadanya.
Arsen tahu betul bahwa asma Hasa kambuh. Dengan cepat, ia mencari inhaler adiknya di ranjangnya.
“Sa, ini habis??” Arsen panik setelah mengocoknya terasa ringan dan kosong.
“G-gue ngga apa-apa,” jawab Hasa tersengal.
“Anjing! Lo bohong! Gue panggil Mas sama Kakak.” Arsen kembali berdiri guna memanggil kedua kakaknya, namun Hasa menahannya.
“Ng-ngga usah, Abang.” Cegahnya.
“Lo kambuh, Hasa! Lo mau mati?!” Bentak Arsen.
Hasa menggeleng, matanya kembali memerah dan menatap Arsen lemah, “Jangan.” Bisiknya.
Arsen tidak bisa melihat tatapan Hasa yang begitu lemah, akhirnya ia hanya menghela napas kasar.
“Oke, gue izin ke apotek aja beliin lo obat. Lo kuat, 'kan?”
Hasa hanya mengangguk pelan. Kemudian Arsen meluncur ke bawah dengan cepat untuk pergi ke apotek.
Sebelum ia pergi dengan motornya, kedua kakaknya dan juga Naresh menghampirinya. Mereka menanyai dirinya dan Hasa.
“Jangan ada yang ajak Hasa bicara dulu. Asmanya lagi kambuh, gue mau beli obat. Kalau intip, boleh, pastiin dia baik-baik aja.” Ujar Arsen lalu menarik gasnya menuju apotek.
@makaroon99