Malam Itu

Arsenio. Pemuda 23 tahun tidak pernah menyangka bahwa kebahagiaan yang baru ia rasakan, sirna begitu saja.

Beberapa menit yang lalu Adam meneleponnya, memberi kabar bahwa Naresh tengah berada di ruang ICU sejak pukul 11 malam tadi.

Untung saja, rekan satu bandnya belum tidur karena kondisinya, mereka sama-sama baru tiba di dorm setelah melakukan debut stage dan setelahnya makan malam sampai jam 11.

Kaki jenjangnya membawanya keluar dari dalam mobil begitu tiba di depan lobi rumah sakit, mengabaikan rekannya yang bahkan masih belum menghentikan mobil dengan sempurna.

Arsen berlari ke depan ruang ICU, di mana Naresh berada. Di depan ruangan itu, nampak Rafa berdiri sambil menunduk.

“Kak?” panggil Arsen pelan.

Rafa mengangkat kepalanya, menatap Arsen dengan wajah sembabnya. Kemudian Rafa kembali menitihkan air matanya bertepatan dengan Adam keluar dari ruang ICU.

“Mas!” Arsen menatap si sulung.

Sayang, reaksi Adam tak kalah buruk dari Rafa. Dengan nekat, Arsen masuk ke dalam ruangan itu, di mana ia langsung disuguhi dengan sang bungsu yang terbaring di sana.

“Naresh udah pulang, Arsen. Naresh udah ketemu Hasa.” Ucap Adam dengan begitu berat.


3 jam yang lalu~

Sekitar pukul 10 malam, Naresh keluar dari kamar Adamㅡyang masih ia tempatiㅡ, matanya sembab namun tidak begitu parah.

Melihat sang bungsu keluar dari kamar yang sejak tadi dikunci, Adam dan Rafa menghampirinya.

“Resh, makan dulu, lo belum makan.” Kata Rafa.

Naresh menggeleng, lalu berjalan ke arah sofa, “Abang keren, ya.” Ucapnya.

“Kamu lihat?” respon Adam.

Pemuda itu mengangguk, “Tadi streaming kok di kamar. Hasa pasti bangga banget Abang berhasil debut, Mas.”

Adam dan Rafa mengangguk. Tentu saja, Hasa pasti bangga. Pun dengan mereka, walau sedikit kecewa pada diri sendiri karena tidak bisa hadir langsung.

“Besok ulangtahun Naresh sama Hasa, pengen rayain bareng boleh?” tanya Naresh lagi sambil menatap kedua kakaknya bergantian.

“Boleh dong! Tapi malam, ya, kita tunggu Abang selesai manggung dulu.” Jawab Rafa.

Naresh tersenyum. Kemudian matanya menatap lurus ke arah tv yang masih menayangkan iklan. Kemudian suasana ruang tv nampak sunyi.

Sampai kemudian, Rafa menyadari sesuatu ketika membuka ponselnya. Sebuah postingan pada twitter Naresh.

“Resh, kangen banget sama Hasa, ya?” tanyanya.

Naresh hanya mengangguk pelan, “Pengen peluk Hasa, tapi kemarin udah peluk Abang.”

“Nanti kalau Abang pulang, peluk aja yang lama.” Timpal Adam.

“Peluk Hasa boleh?”

“Boleh, nanti gue suruh Hasa main ke mimpi, ya.”

Lagi dan lagi, Naresh hanya mengangguk.

Tak selang lama, Naresh pamit kembali ke kamar. Ia mengantuk, katanya. Namun, belum sempat sampai kamar, tubuh kurus itu ambruk berdebam di lantai.

Kepanikan terjadi seketika. Adam dan Rafa langsung membawa Naresh ke rumah sakit dengan kecepatan mobil yang tidak kira-kira.

Pukul 23.25, dokter mengatakan bahwa Naresh telah mati otak. Hal itu membuat Adam dan Rafa tidak bisa melakukan apapun kecuali berdoa.

Tidak ada yang dapat mereka lalukan, tidak ada yang mereka ingat, bahkan untuk menghubungi Arsen pun mereka tidak terpikirkan sama sekali.

Kalut. Sakit.

Hingga pukul 00.45 dini hari, Naresh dinyatakan meninggal dunia. Si bungsu Giantama kini menyusul Ayah dan Bunda serta kembarannya.

“Mas, Kakak, Abang, Naresh susul Hasa, ya.”