Midnight Talk


Sudah lewat pukul 12 malam, Hasa maupun Naresh masih sama-sama tidak bisa tidur. Hasa mungkin malam ini merasa tidak mengantuk sama sekali, sementara Naresh lebih merasa gugup.

Bayangkan, kurang dari 9 jam lagi ia akan melakukan bedah kepala. Segala kemungkinan buruk merasuki kepalanya sehingga membuatnya gugup dan tidak bisa tidur.

“Resh, tidur!” Tegur Hasa.

Naresh melirik Hasa yang ada di sofa pojok ruangan, “Lo juga belum tidur.” Lalu ia beranjak dari ranjang menuju kembarannya.

Ia duduk di sebelah Hasa yang masih mengenakan earphone, kemudian menyandarkan kepalanya di bahu kembarannya itu.

“Sa, nebeng bahu.” Ucap Naresh.

“Kepala lo tajem, Resh.”

“Bahu lo juga tajem, anjir.”

Keduanya kemudian terkekeh. Tenang, mereka sama-sama tahu kalau itu hanya candaan semata.

“Belakangan suara lo agak beda, kena radang ya?” tanya Naresh pada Hasa.

“Iya kali, es mulu soalnya.”

“Besok jangan minum es, jangan sakit.”

Hasa hanya tersenyum kecil.

“Sa, pegang tangan gue deh.” Naresh membuka telapak tangannya agar Hasa memegangnya.

Tangan Hasa memegang tangan Naresh, “Kenapa?”

“Idih, kok malah dinginan tangan lo sih?” tatap Naresh tajam, “Lo juga gugup?”

Hasa mengangkat alisnya, “Engga, emang tangan gue dingin kena AC.”

Naresh hanya mengeryitkan keningnya lalu kembali menyandarkan kepalanya di bahu Hasa. Ia menarik napas dan ruangan sunyi untuk beberapa saat ke depan.

“Sa, gue takut.” Ucap Naresh pelan.

“Apa yang lo takutin?”

“Semuanya.”

“Hm?” Hasa bingung.

“Operasinya, efeknya, semuanya, Sa.”

“Jangan takut, Resh.”

“Gue kemarin baca efek samping bedah kepala, gue bisa aja amnesia atau jadi kayak orang linglung nantinya.”

“Sementara, Resh, ngga permanen.”

Naresh menghela napas kasar, “Tetap aja gue takut. Apalagi kalau nanti gue ngelupain lo?”

“Ngga apa-apa, nanti diingetin lagi.”

“Siapa? Oh!” Naresh tiba-tiba terbangun, “Waktu itu lo mau ceritain cerita masa lalu abis Ujian? Mending ceritain itu sekarang.” Ia menagih janji Hasa rupanya.

Hasa melirik jam di dinding, “Udah jam dua belas lewat, Resh.”

“Ceritain sekarang, Saaa.” Rajuknya.

“Abis operasi aja gimana?”

“Sa…?” wajah Naresh memelas.

“Lo harus istirahat dulu, Resh. Operasi lo itu operasi besar, jadi jangan main-main sama waktu istirahat yang dikasih. Ya?”

Naresh menghela napas, memang agak sulit membujuk Hasa. Namun pada akhirnya ia menurut.

“Tapi gue tidur di sini aja, ya, sama lo?” pintanya.

“Di kasur sana, Resh.”

“Di sini atau gue ngga tidur.”

Kini Hasa yang menghela napas. Ia akhirnya mengangguk daripada Naresh tidak tidur malam ini.

“Ya udah, tidur sini.”

Baru Hasa mau beranjak untuk membiarkan Naresh berbaring, kepala kembarannya itu sudah lebih dulu bersandar ke bahunya lagi.

“Gini aja, Sa, nanti abis gue operasi pasti susah. Sama Mas pasti gue disuruh tidur di kamar dia. Nanti kita kepisah lama, nanti gue kangen sama bau badan lo.”

“Gue ngga bau!” Protes Hasa.

“Maksudnya wangi. Hehehe.” Kekeh Naresh.

“Ya udah, tapi tidur, ya.”

“Uhm…”

Keduanya terdiam, sama-sama berusaha memejamkan mata. Namun baru 10 menit berlalu, Naresh kembali bersuara.

“Bunyi jantung lo kenceng banget, Sa.”

“Artinya gue masih hidup.”

“Ngga salah sih.”

”...”

“Sa, di ruang operasi boleh ditemenin ngga sih?”

“Boleh. Ditemenin dokter sama suster.”

“Tsk! Maksudnya sama keluarga.”

“Mana boleh! Ditemenin juga buat apa kalau lo bakal dibius total selama operasi berlangsung?!”

Naresh terkekeh, “Iya juga. Hahaha.”

Keduanya kembali terdiam. Terutama Hasa yang sudah enggan menyahuti Naresh. Jika tidak begitu, Naresh tidak akan tidur-tidur.

Sampai akhirnya pukul 1 malam, Naresh benar-benar terlelap. Sementara Hasa sendiri terjaga bahkan sepanjang malam, walau matanya tertutup ia sama sekali tidak tidur.


@makaroon99