Niko


tw , cw Mention of death, orphan , yatim piatu


Thalia dan Niko saat ini sudah berada di kafe depan kampus. Mereka mengambil tempat di lantai 2, duduk lesehan beralaskan karpet yang cukup tebal.

“Kakak ngga pesan makanan atau minuman?” tanya Thalia setelah sadar bahwa yang ada di meja hanya makanan dan minuman miliknya saja. Padahal itu semua Niko yang bayar.

Laki-laki di hadapannya menggeleng, “Engga, aku kenyang.”

Thalia mengeryit, “Emang kakak udah makan?”

“Udah tadi siang.”

“Itu 'kan makan siang. Lagipula makanan sama minumanku kakak yang bayar, masa kakak ngga makan apa-apa? Ini bareng aja deh.” Thalia menyodorkan kentang goreng miliknya.

“Ngga apa-apa, Thalia, kamu makan aja.” Jawab Niko dibarengi senyum tipisnya.

Akhirnya Thalia menunda acara makan kentang goreng tersebut, menunggu Niko mencicipinya.

Namun, hingga 30 menit mereka berkutik dengan buku dan artikel di web, Niko masih belum menyentuhnya. Kentang goreng itu masih utuh dari terakhir Thalia memakannya.

“Thalia, dimakan aja kentangnya.” Ujar Niko.

“Kak Niko ngga makan, aku jadi males.” Jawab Thalia.

Niko terkekeh, “Ya udah, ini aku makan. Ayo makan!” Ia meraih 2 potong kentang dan memasukkannya ke dalam mulut.

Akhirnya Thalia ikut makan sambil kemudian melanjutkan pekerjaannya bersama Niko.

Tugas paper ini memang tidak terlalu sulit, hanya saja kalau bisa dikerjakan lebih cepat akan lebih baik. Walau tidak akan kelar walau hanya sehari alias beberapa jam.

“Oh ya, Kak Niko setiap jam makan siang ngga di kampus itu ke mana?” tanya Thalia.

“Jemput adik aku,”

“Kakak punya adik?”

“Punya.”

“Kok dijemput? Dia kelas berapa?”

“Kelas tiga SD, Tha. Dia pulang jam dua belas, jadi harus aku jemput di sekolah. Abis itu pulang, makan siang sama dia dan baru balik ke kampus lagi.”

“Naik sepeda?”

Niko mengangguk.

“Ngga capek, Kak?”

Kali ini Niko menggeleng.

“Hebat!” Cicit Thalia, “Emang di rumah ngga ada orang buat jemput adiknya kakak?”

Niko tersenyum kecil, “Kami yatim piatu, Thalia.”

Napas Thalia terkecat, ia seakan kehilangan kinerja paru-parunya untuk beberapa detik ke depan. Hingga akhirnya Niko sedikit bercerita tentang keadaan rumahnya.

Ia sudah 3 tahun ini hanya tinggal berdua dengan adiknya setelah sebelumnya hanya bertiga dengan sang Ayah. Namun, saat itu sang Ayah meninggal akibat serangan jantung ketika tengah meninjau proyek di lapangan di jam kerja.

Niko yang saat itu masih kelas 3 SMA sempat tidak tahu harus berbuat apa. Pasalnya, adiknya masih duduk di TK. Masih sangat kecil.

Ia dan adiknya yang sudah ditinggal oleh keluarga besar dari orangtuanya akibat masalah internal yang tidak disebutkan, memilih meninggalkan rumah sederhana yang semula ia tempati.

Rumah yang belum lunas itu ia over-credit kepada yang lain. Hingga ia memilih tinggal di rumah sepetak bersama sang adik.

Niko yang semula enggan kuliah pun akhirnya memutuskan untuk kuliah karena mendapat beasiswaㅡkarena ia merupakan murid berprestasi di sekolah. Walau sedikit tidak tega meninggalkan sang adik, tapi ia bersyukur karena si kecil cukup dewasa dan mengerti.

Untuk sehari-harinya, Niko masih mengandalkan uang tunjangan dari kantor mendiang Ayahnya. Uang bulanan tersebut bisa untuk makan dan jajan adiknya. Maka dari itu, ia memilih menaiki sepeda setiap hari untuk meminimalisir pengeluaran.

“Kakak kenapa ngga bilang kalau adiknya kakak masih sekecil itu? Aku jadi merasa bersalah bikin dia lama-lama sendirian di rumah karena kakaknya lagi nugas.” Ucap Thalia.

“Ngga apa-apa, Thalia. Aku tadi pagi udah bilang sama dia kok.” Respon Niko.

“Ngga deh, aku ngga tega. Ayo, kakak pulang aja. Udah gelap juga, kasian dia sendirian.” Thalia merapihkan mejanya, memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas.

Dan akhirnya, Niko menuruti saja keinginan Thalia.


@makaroon99