Pagi Itu
Sekitar pukul 6 pagi, Adam dan Rafa sudah tiba di Rumah Sakit. Keduanya berada di kamar rawat Naresh, berjumpa dengan Arsen dan Hasa yang sedang duduk di sofa sambil nonton tv sementara Naresh masih tidur.
Adam memberikan sarapan untuk kedua adiknya dan Rafa memberi pakaian ganti. Arsen pergi lebih dulu ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya, sementara Hasa masih duduk bersandar di sofa.
“Sarapannya ngga dimakan, Sa?” tanya Adam.
“Nanti aja, Mas, masih terlalu pagi.”
Adam hanya mengangguk. Tidak lama kemudian, Arsen keluar dan kini gantian Hasa yang masuk. Ia duduk di sofa dan membuka sterofoam berisi sarapannya.
“Sen, semalem lo bilang ada yang mau diomongin?” tanya Rafa pelan.
Arsen menghentikan kegiatannya, melirik Rafa, Adam, bahkan Naresh yang masih terpejam. Ia juga melirik pintu kamar mandi yang tertutup.
“Nanti aja.” Jawabnya.
“Tentang apa, Sen?” Adam penasaran.
Kini Arsen benar-benar menghentikan kegiatannya. Sendok plastik yang semula ia pegang pun ditaruh di atas meja.
“Hasa...ㅡ”
Brakk
Ketiga pasang mata itu mengalihkan atensi mereka pada kamar mandi yang ada di sana. Arsen dengan cepat berdiri dan berjalan ke arah sana, mengetuk pintu sedikit keras karena khawatir.
“Sa! Lo ngga apa-apa, Sa?” tanya Arsen.
Terdengar sebuah suara 'klik' dari dalam, dam dengan cepat Arsen memutar knop pintu lalu membukanya.
Di dalam, nampak Hasa yang terduduk di lantai sambil meringkuk. Bajunya masih sama dengan yang tadi, terlihat seperti ia belum melakukan apapun selama beberapa menit di sana.
“Sa, kamu kenapa?” Adam ikut masuk, lalu membantu Arsen mengangkat Hasa.
Sementara Rafa membenahi sofa yang tadi sedikit berantakan karena ditaruh barang bawaan. Ia juga melipat selimut untuk dijadikan alas bantal kepala Hasa.
Hasa sudah dibaringkan di sofa, dengan mata terpejam dan kening mengeryit dalam. Mulut Hasa sedikit terbuka seakan tengah mengatur napasnya sendiri.
“Sa, lo kedinginan?” tanya Rafa, lalu melepas hoodie-nya untuk menutup badan Hasa.
Adam dan Rafa bingung dengan Hasa yang tiba-tiba memucat. Sampai Arsen mengeluarkan inhaler milik adiknya, mendudukkan laki-laki itu dan ia bantu menggunakannya.
“H-Hasa ngga apa-apa,” ucapnya lalu membenarkan duduknya sendiri dan bersandar ke sofa.
“Sa, kalau lo sakit bilang ke kami.” Ujar Adam.
Hasa hanya mengangguk, “Tapi beneran Hasa ngga kenapa-kenapa kok, Mas.”
Kemudian suasana kamar mendadak sunyi, terlebih setelah itu Hasa hanya diam tanpa melakukan apa-apa. Hal itu membuat ketiga kakaknya bingung.
Kini sudah pukul 8 pagi, Naresh sudah bangun dari tidurnya jam 7 tadi. Saat ini ia tengah mempersiapkan diri untuk melakukan operasi jam 9 nanti.
Tadi suster sudah datang, mengatakan bahwa pukul 8.30 Naresh akan dibawa ke ruang tunggu operasi.
“Takut ngga?” tanya Rafa pada Naresh.
“Takutlah!” Sewot Naresh membuat keempat saudaranya tertawa.
“Jangan galak-galak!” Tegur Hasa sambil masih terkekeh.
“Lagian pertanyaannya aneh banget.”
“Siapa tau kamu ngga takut, Resh.” Kata Adam.
“Semalem tuh takut banget, untung ada Hasa. Katanya, nanti kalau Naresh lupa ingatan, dia mau nyembuhin. Oh, jangan lupa ceritain masa lalu.”
Hasa hanya tersenyum tenang.
Hingga waktunya tiba, seorang suster datang membawa sebuah kursi roda untuk membawa Naresh ke ruangan tunggu operasi. Ya, hanya dengan kursi roda karena Naresh bukan pasien yang selemah itu.
“Jangan tegang, Resh.” Kata Arsen.
“Inshaallah, Bang.” Jawab Naresh.
“Kakak-kakaknya mau tunggu di sini atau ikut ke depan ruang operasi?” tanya sang suster setelah Naresh duduk di kursi roda.
“Ikut tunggu di sana, Sus.” Jawab Adam.
“Baik, silakan.” Lalu ia mendorong kursi roda Naresh.
Di belakang, Adam, Rafa, dan Arsen nampak membuntuti. Sementara Hasa berada di samping, tepatnya tangannya digenggam erat oleh Naresh.
Sampai tiba mereka di depan ruang operasi. Kata semangat kembali mereka lontarkan untuk Naresh guna menghilangkan rasa gugup sang bungsu.
“Keluar dengan sehat, ya?” ucap Hasa.
Naresh mengangguk, “Tungguin gue, ya, Sa.”
Kini gantian Hasa yang mengangguk.
“Pokoknya jangan ke mana-mana sebelum gue bangun.”
“Eung! Sehat, Resh.”
“Lo juga. Biar nanti kita bisa cerita-cerita banyak.”
“Lancar, ya, di dalam.” Kata Hasa tenang.
“Aamiin. Peluk dong!” Naresh merentangkan tangannya, kemudian Hasa masuk dalam peluknya.
Hasa maupun Naresh sama-sama mengusap punggung satu sama lain untuk beberapa saat.
“Tidur, Sa. Gue tau semalem lo ngga tidur. Jangan sampai sakit, nanti gue sedih.” Ucap Naresh.
Kedua pelukan itu terlepas, “Iya, nanti gue tidur biar ngga sakit. Makasih, Resh.”
Mendengar itu, Adam mengusap punggung Hasa. “Udah, yuk, kasian itu susternya nungguin.”
Akhirnya, Naresh dibawa masuk ke dalam ruang operasi oleh sang suster. Sementara 4 orang lainnya duduk di kursi tunggu yang ada tidak jauh dari pintu.
“Semalem lo beneran ngga tidur, Sa?” tanya Arsen.
Hasa mengangguk sambil tersenyum kecil.
“Terus gue ngoceh lo denger?”
“Hehehe,”
“Sa…?” Hasa tidak merespon ucapan Arsen lagi.
“Emang lo ngomong apaan, Sen?” tanya Rafa.
Arsen menoleh ke arah Rafa, namun belum sempat menjawab, Hasa berdiri dari duduknya.
“Hasa mau pulang boleh?” tanyanya.
“Lho, kenapa? Katanya mau nungguin Naresh?” respon Adam.
“Mau istirahat? Di kamar Naresh aja.” Usul Rafa, “Lumayan nunggu lima jam.”
Hasa mengangguk, kemudian berjalan ke ujung lorong di mana lift berada. Baru Adam ingin menyusul Hasa, ia malah dikejutkan dengan terjatuhnya si bungsu sebelum masuk ke dalam lift.
“HASA?!!”
@makaroon99