Pagi Terakhir
Adam, Rafa, dan Arsen kini hanya bisa menunduk dalam ketika Hasa dinyatakan kritis oleh dokter yang menangani adiknya itu.
Dokter mengatakan penyebab Hasa kritis adalah akibat penyakit asma yang tak terkontrol, beserta gagal jantung yang selama ini diabaikan.
Kondisi saluran pernapasannya yang tidak baik serta jantung yang tidak mampu memompa darahnya dengan baik, membuat laki-laki muda itu harus terkapar lemah di ruang ICU dengan beberapa alat menempel di tubuhnya.
Dari ketiganya, tidak ada yang tahu Hasa mengidap gagal jantung, sampai seorang dokter spesialis jantung memeriksa adik mereka dan memberi catatan medis Hasa sejak bertahun-tahun lalu.
Sedihnya, bertahun-tahun yang lalu itu tercatat sejak tahun 2007. Artinya, sejak Hasa berusia 4 tahun. Namun, catatan medis terhenti sejak 4 tahun yang lalu.
“Kalian ngga ada yang tau Hasa sakit kayak gini? Atau hanya gue yang lupa?” tanya Adam.
“Mas, gue ngga tau apapun tentang Hasa.” Jawab Rafa pelan.
Mendengar jawaban Rafa, Adam cukup paham. Memang adiknya itu menutup informasi apapun milik Hasa sejak kecil. Sampai ia beralih pada Arsen yang hanya diam dengan mata menatap lantai tanpa berkedip.
“Sen?” panggil Adam, “Lo tau ini?”
Arsen hanya diam. Ia tidak menangis seperti 2 kakaknya, ia hanya diam dan diam walau matanya terlihat memerah.
“Arsen?” panggil Adam lagi.
“Ini yang mau gue bilang ke kalian tadi.” Akhirnya Arsen bersuara, “Semalem ada dokter yang nyapa gue, beliau dokter jantung Hasa yang tadi.”
“Sen, ceritain pelan-pelan.” Pinta Adam.
Akhirnya, Arsen mulai bercerita tentang semalam.
Flashback
Pukul 9 malam, Arsen baru kembal ke Rumah Sakiti dari studio band karena mengambil barang yang tertinggal. Dengan mengantungi camilan untuk 2 adiknya, ia berjalan menyusuri koridor dan masuk ke dalam lift.
Bersamaan dengan itu, seorang pria tua dengan rambut putih masuk ke dalam. Ia memperhatikan Arsen dengan lamat dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Kamu puteranya Pak Tama bukan?” tanya orang itu.
Arsen menoleh, kemudian ia mengangguk, “Bapak kenal Ayah saya?”
Pria tua itu tertawa, “Tentu saja. Beliau 'kan rajin mengunjungi saya dengan putera bungsunya. Nuraga. Kebetulan saya dokter spesialis jantung adikmu itu.”
Pemuda yang akan menginjak usia 23 tahun itu terkejut. Dokter spesialis jantung adiknya? Maksudnya Hasa?
“Bagaimana kabarnya? Sudah tiga atau empat tahun dia ngga pernah terlihat lagi. Ayah sama Ibumu juga, bagaimana kabarnya?” tanya pria itu lagi.
Arsen terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya menjawab pria tua itu, “Orangtua saya sudah meninggal, Pak. Kalau Nuraga… dia baik.”
Belum sempat pria itu merespon lagi, lift berdenting. Mereka telah sampai di lantai 3, “Mau berbincang dulu di ruangan saya, nak?”
Dan entah kenapa, Arsen mengangguk. Ia ikut keluar dari lift dan berjalan mengekori pria itu. Setelah diketahui, pria bertubuh tinggi itu adalah Profesor Salman, ahli jantung.
Kini Arsen telah duduk di sofa ruangan Prof. Salman, dengan disuguhkan sebotol air mineral dan biskuit yang masih terbungkus rapat.
“Nuraga masih rutin minum obatnya 'kan, nak? Setahun sebelum mereka hilang kontak, Ayahmu mengadu kalau Nuraga enggan minum obat sehingga pengobatannya harus diulang.”
“S-sebenarnya, sejak orangtua saya meninggal, banyak perubahan di keluarga kami, Prof. Hasaㅡmaksudnya Nuraga sendiri tidak seterbuka dulu. Tapi beberapa kali saya lihat dia minum obat setiap pagi.”
“Seandainya saya tahu kabar orangtua kalian lebih dulu. Saya jadi menyesal tidak mencaritahu apa yang terjadi. Terutama kondisi Nuraga.”
“Apa kondisinya parah, Prof?”
“Tidak terlalu, asal dia rutin konsumsi obat tersebut. Tapi saat ini saya jadi khawatir, karena seharusnya ia melakukan pemeriksaan setiap 3 bulan sekali untuk memastikan kondisinya. Apakah obatnya harus ditambah dosisnya atau dikurangi.”
Arsen meremat jemarinya di ujung jaket yang ia kenakan. Ia sama sekali tidak tahu jika Hasa memiliki penyakit gagal jantung sejak kecil. Ayah atau Bundanya sama sekali tidak mengatakan apapun padanya.
Hanya saja sekelibat bayangan masa kecilnya muncul, ketika ia melihat Hasa diberi sebuah permen oleh Ayah atau Bundanya setiap hari. Ketika ia bertanya “Kenapa cuma Hasa yang dikasih permen setiap pagi?” jawabannya akan selalu sama, “Karena Hasa butuh permennya.”
Dan pernah ia mencoba mengambil 'permen' yang dimakan Hasa, Ayah justru marah padanya. Itulah salah satu yang membuat Arsen iri pada Hasa kala itu.
Namun kini ia tahu bahwa permen itu bukan permen yang dimaksud. Itu adalah obat yang wajib Hasa makan karena penyakit gagal jantung yang diderita adiknya itu.
“Nak, kalau kamu ada waktu, tolong ajak Nuraga bertemu dengan saya, ya. Saya rindu. Dan kita juga harus melakukan pemeriksaan pada dia. Jika tidak, bisa saja penyakitnya memburuk dan berujung pada kematian.”
“Tapi bagaimana kalau dia ngga menunjukkan adanya penyakit itu, Prof?”
“Asma,“
“Ya?”
“Nuraga punya asma, bukan? Nyeri dan sakit yang dialaminya berbeda tipis, nak. Bisa saja ketika jantungnya kumat, ia menganggap itu asmanya. Itu yang bahaya, nak. Jadi, secepatnya kita bertemu lagi, ya?”
Arsen kembali terdiam. Ia kembali kepikiran dengan kondisi Hasa. Seingat dan selama ia perhatikan Hasa, semenjak berobat waktu itu memang Hasa tidak menunjukkan gejala membaik, tapi justru kian hari adiknya itu semakin nampak lemah walau selalu ditutupi.
Tapi ia tidak mau berpikiran macam-macam, apalagi melihat fisik Hasa yang mengurus. Ia pikir itu hanya efek akibat Hasa jenuh dengan sakitnya. Itu saja.
Hingga tak terasa 1 jam ia berada di ruangan Prof. Salman, Arsen pun pamit. Namun, ia tidak kembali ke tempat Naresh berada, melainkan menyendiri untuk mengulas serta memperkuat ingatannya tentang Hasa. Apa-apa saja yang ia lewatkan selama ini.
Sampai hampir pukul 2 dini hari, Arsen baru kembali. Ia lihat Hasa dan Naresh tidur di sofa berdua. Ia memperhatikan 2 adiknya yang masih nampak seperti bayi saat itu.
Takut Naresh tidak nyaman dengan tidurnya dan Hasa pegal dengan posisi yang sekarang, Arsen memindahkan Naresh yang sudah pulas ke ranjangnya. Sementara ia meluruskan posisi Hasa di atas sofa.
Mata bulan sabit Arsen menatap Hasa, sementara tangannya mengusap poni sang adik yang sudah memanjang menutupi keningnya. Hanya sedikit hangat yang ia rasakan, Hasa sepertinya kedinginan.
“Sa, gue ngga tau seberapa besar lo berjuang selama ini. Gue ngga tau kalau dari kecil lo udah kesulitan. Tapi, lo ngga pernah terlihat lemah, Sa. Lo hebat. Lo adik gue yang paling hebat.” Ucap Arsen pelan.
Kini tangannya merambat ke tangan Hasa yang semakin terlihat kurus. Seketika ia teringat pertama menyentuh tangan mungil Hasa ketika lahir, namun yang ada di kepalanya saat itu malah “Kenapa harus ada adik lagi sih?”
Tapi kini semuanya terasa berbeda. Rasa irinya terhadap Hasa kecil, sirna. Semua terganti dengan perasaan menyesal karena rupanya selama ini fisik Hasa tidak sebaik kelihatannya.
“Sa, maafin gue belum bisa jadi abang yang baik. Maaf atas kecemburuan gue di masa lalu. Maaf atas semua rasa sakit yang lo rasain sendiri, Sa. Semoga ke depannya gue ngga ceroboh lagi. Gue sayang lo, Sa. Lo sehat terus, ya.”
Dan malam itu, di sebelah Hasa yang tertidur, Arsen tenggelam dalam pikirannya. Ia tenggelam dalam rasa penyesalan yang tak tahu di mana dasarnya.
Flashback Off
Kembali di depan ruang ICU. Ketiga kakak-adik itu hanya diam setelah tahu semuanya. Masing-masing hanya tenggelam dalam perasaan bersalahnya. Tidak ada sepatah katapun yang mampu terucap lagi. Semua terasa begitu menyakitkan.
Sampai seorang suster memanggil mereka untuk mengajaknya ke dalam. Katanya, Hasa ingin bertemu.
Tapi, bukan bertemu seperti yang mereka bayangkan. Bertemu yang dimaksud pagi itu adalah sebuah…
...
...
...
...
...perpisahan.
@makaroon99