Permintaan Hasa

3 hari setelah kejadian Hasa mengamuk untuk pertama kali, Giantama bersaudara jadi harus lebih berhati-hati karena mood Hasa kerap kali berubah-ubah.

Ketiga tertua selalu berpikir, “Beginikah yang dirasakan Hasa ketika mood Naresh sering berubah?”

Pasalnya, Hasa yang sering kena sasaran ketika Naresh marah atau sedih. Atau kebetulan saat itu Naresh tengah bersama Hasa.

Beberapa waktu lalu, mereka telah berdiskusi bahkan bersama Naresh. Karena Arsen yang lebih tahu Hasa, ia yang banyak memberi arahan dan pengertian, walau sebenarnya ia malas.

Tapi, Arsen menghargai permintaan Adam, sang kakak tertua, yang ingin hubungan persaudaraan mereka kembali balik. Setidaknya, mereka bisa lebih Saling memahami.

“Sa, makan?”

Tawar Rafa yang saat itu tengah menyantap mie rebus sambil nonton tv di ruang tengah kepada Hasa.

“Ngga, Kak. Makasih.” Jawab Hasa lalu duduk ikut menonton tv.

Tak lama, Naresh dan Adam menyusul dan ikut duduk di sana.

Hasa mengedarkan pemandangannya, melirik satu persatu saudaranya yang sibuk masing-masing.

“Abang ke mana?” tanyanya.

“Biasa, Sa. Kayak ngga tau Abang lo aja.” Jawab Rafa.

“Masih jalan sama pacarnya, Sa.” Timpal Naresh.

“Padahal kemarin udah gue bilang liat pacarnya jalan sama cowok lagi.”

“Pasti dalihnya adiknya si cewek, 'kan?” tanya Rafa.

Hasa mengangguk. Tapi memang iya, ia bahkan sudah beberapa kali melihatnya. Yang terakhir itu kemarin, tapi Arsen ngeyel.

“Biarin aja, Arsen udah dewasa kok. Kita sebagai saudara cuma bisa ngingetin. Apa yang mau dia lakuin ke depannya, urusan dia sama pacarnya.” Ujar Adam.

Hasa dan Naresh mengangguk.

10 menit kemudian, Arsen datang membawa sebuah kantung plastik putih di tangannya. Senyum tipisnya nampak di wajah sambil menghampiri saudaranya.

“Martabak mau ngga?” tawar Arsen.

“Wih! Abang abis kejatuhan rezeki apa gimana?” lirik Naresh.

“Band gue ditawarin buat masuk ke salah satu label musik,” jawab Arsen sambil melangkah cuci tangan ke wastafel, “...langsung kami terima dan kami dapet uang muka.” Tambahnya.

“Keren! Label musik mana?” tanya Adam.

“Dreams Music.”

“Gila! Abang keren banget!” Mata Hasa seketika berbinar.

Arsen kembali ke ruang tengah dan duduk di karpet. Ia tersenyum bahagia atas keberhasilannya. Pasalnya, Dreams Music itu label musik yang bagus karena berani ambil resiko. Mereka tidak menarik musisi dengan ribuan penggemar, mereka biasa menarik musisi kecil yang biasanya terbentuk dari sekolah atau kampus.

Ia membuka 2 kotak martabak yang berbeda, “Ini martabak keju, yang ini martabak ketan susu yang bisa Hasa makan.” Ujarnya sambil menyodorkan kotak martabak yang berbeda.

“Makasih, Bang Arsen.” Hasa langsung mengambil satu potong dan segera menyantapnya.

Untuk beberapa saat, ruangan itu nampak sepi. Mereka semua menikmati makanan penutup malam ini yang dibawa Arsen.

Rasanya seperti sudah lama sekali mereka tidak merasakan ini. Tepatnya, benar-benar sunyi tanpa ada debat sedikitpun.

“Mumpung kita lagi kumpul, Mas mau bicarain sesuatu.” Buka Adam setelah beberapa saat mereka hanya diam.

Keempat pasang mata lainnya otomatis mengalihkan netra mereka pada sang kakak. Mereka memperhatikan Adam dengan sangat serius.

“Udah lama banget rasanya kita ngga duduk tenang kayak gini. Mas sebagai kakak tertua mau minta maaf karena ngga becus menjaga dan mengarahkan kalian.”

“Kayak lebaran aja minta maaf,” celetuk Arsen.

“Serius, Sen. Gue rasanya jadi kakak yang gagal untuk mempertahankan keharmonisan persaudaraan ini. Gue terlalu penakut buat membenahi keadaan.”

“Bukannya sejak dulu persaudaraan kita ngga seharmonis itu, Mas? Diantara kita, ada perselisihan. Entah ke satu atau dua orang. Jadi kayaknya kurang tepat kalau Mas Adam bilang 'gagal mempertahankan keharmonisan' kalau untuk membenahi, masih diterima. Iya, 'kan? ” Hasa bersuara.

Kini tatapan mereka mengarah pada Hasa. Sungguh, mereka masih agak trauma dengan perubahan sikap Hasa.

“Iya, bener kata Hasa. Kita emang dari dulu ngga harmonis,” timpal Rafa, “Daripada cuma Mas Adam, kita semua seharusnya yang sadar diri atas apa yang udah terjadi pada hubungan kita. Kalau mau membenahi, ya semuanya.” Tambahnya.

“Tetap aja Mas yang paling tua di sini, tapi Mas ngerasa jadi yang paling gagal. Gagal sebagai kakak yang seharusnya bisa merawat, menjaga, dan menengahi adik-adiknya. Mas terlalu egois, mas banyak menutup mata dan menganggap semuanya baik, padahal...ㅡ”

“Mas, lo janji mau ngobrol buat memperbaiki, bukan buat nyalahin diri sendiri!” Tegur Arsen.

Oh, ketahuilah bahwa sebenarnya Adam sudah bercerita pada Arsen tentang kondisi psikologisnya. Arsen sempat terkejut, tapi ia sudah lebih dulu menebaknya waktu itu.

“Iya, maaf.” Ucap Adam lemah.

“Sebenarnya, kesalahan itu ada pada diri masing-masing, Mas. Ada yang egois, ada yang ngga menyadari itu, ada yang gengsi, dan ada yang enggam bicara karena takut. Kita hanya kurang terbuka satu sama lain, sehingga membuat Mas sebagai kakak tertua merasa semua salah Mas. Padahal bukan begitu.” Kali ini Naresh yang bicara.

“Intinya, kita hanya kurang terbuka.” Arsen melirik satu persatu kakak dan adiknya.

“Mas ngga tau harus bilang apa, tapi mulai sekarang, bisa 'kan kita coba sama-sama benahi diri untuk terjaganya persaudaraan kita? Setidaknya, kita tunjukkin ke Ayah dan Bunda di Surga kalau anak-anak mereka ini adalah anak-anak hebat. Jarak yang tercipta sejak dulu, bisa kita kikis agar kembali rapat dan bersatu.”

Keempat adik Adam terdiam beberapa saat, sampai akhirnya Rafa mengangguk lebih dulu. Tidak bohong jika ia ingin semuanya baik, walau di awal ia sempat tidak percaya akan bisa melakukannya.

Pun dengan Naresh, walau sebagian memorinya hilang akibat kecelakaan waktu itu, ia ingin sekali bisa mengingatnya kembali atau setidaknya ia ingin bisa menjadi saudara yang lebih peka dan mengerti.

Kalau Arsen, ia tidak mau banyak menuntut. Karena yang saat ini dipikirannya hanyalah kebahagiaan untuk Hasa.

Sementara Hasa sendiri, ia tidak tahu apa yang ia pikirkan. Ia hanya ikut mengangguk walau di hatinya terasa hangat.

Senang? Mungkin iya.

“Nanti selesai operasi Naresh, Mas bakal usahain juga untuk bisa bawa Hasa berobat supaya asmanya terkontrol, ya?” ujar Adam.

Hasa yang hanya mendengar itupun menatap Adam. Ia mengerjap beberapa kali sebelum fokusnya diinterupsi oleh suara Rafa.

“Gue juga bakal cari sampingan buat bantu Mas Adam. Biar ngga nanggung sendirian, biar ngga terlalu jadi beban.”

Tidak ada tanggapan dari Hasa mendengar ucapan kakak-kakaknya. Bahkan saat ini mereka tengah berimajinasi jika semua keadaan menjadi baik. Naresh dan dirinya yang menjadi sehat seperti kakak-kakaknya yang lain.

“Ini yang ngga Hasa suka kalau kalian tau Hasa sakit. Kalian berubah.” Ucap Hasa pelan.

Yang lain mengeryit mendengar ucapan Hasa, “Sa…?” Adam menyentuh lengan Hasa.

“Hasa ngga mau dikasihani, Mas.”

“Kita ngga ada maksud begitu, Sa. Kita cuma mau kamu juga sembuh dan sehat lagi.” Respon Rafa.

“Iya, Sa. Kan kita janji buat membenahi keadaan sama-sama. Salah satunya ke kamu,”

Hasa menggeleng dan menatap Naresh, “Gue bisa sendiri. Toh selama ini gue yang handle sendiri kok.”

“Terus kamu maunya kita gimana, Sa?” tanya Adam pelan karena membaca sikon di mana emosional Hasa mulai berubah kembali.

Hasa terdiam beberapa saat sambil menunduk, memainkan jemari-jemari di tangannya sebelum menjawab pertanyaan sang kakak tertua.

“Bersikap seperti biasa aja, Mas, seperti kalian memperlakukan Hasa. Seperti sebelum kalian tau kalau Hasa sakit. Hasa udah nyaman diantara ada dan tiada di mata kalian walau Hasa sesekali pengen liat kalian memperlakukan Hasa seperti kalian memperlakukan Naresh. Tapi sekarang jangan, Hasa ngga suka. Hasa ngga suka perubahan ini. Hasa... takut.” Jelas Hasa dengan sedikit gemetar.

Di sebelah itu, Naresh, ia merasa sangat bersalah. Ia merasa kalau Hasa seperti ini karenanya. Karena para kakaknya terlalu fokus padanya sehingga mengabaikan Hasa.

Ah, bukan merasa lagi, bahkan ia yakin penyebab utama Hasa seperti ini memanglah dirinya.


@makaroon99