Sore Itu
Terapi Naresh sudah selesai untuk hari ini. Dokter mengatakan bahwa perubahan Naresh sangat cepat. Sepertinya memang operasi yang dilakukan sangat bagus sehingga tidak membuat Naresh mengalami kesulitan terlalu lama.
4 kali terapi jalan saja, Naresh sudah bisa melangkah sendiri. Ya walau harus tetap dalam pengawasan karena bisa saja anak itu kehilangan keseimbangannya.
Melihat Naresh terapi untuk pertama kalinya, Arsen nampak begitu lega. Sepertinya keinginan Naresh untuk sembuh itu sangat tinggi, walau anak itu masih enggan bicara atau memang belum bisa.
Arsen yang hari ini meminjam mobil rekan satu bandnya, melajukan mobil dengan pelan. Takut-takut kalau kepala Naresh sakitㅡwalau seminggu belakangan sudah tidak ada keluhan.
“Mau makan di mana, Resh?” tanya Arsen.
Naresh menggedikkan bahunya.
“Seafood mau?” tawar Arsen.
Kini Arsen menggeleng.
“Terus mau makan di mana? Di rumah.”
Sebuah kata keluar dari mulut Naresh walau tidak terdengar jelas, “Pantai.”
Arsen mengeryit. Pantai? Namun tanpa banyak tanya, ia melajukan mobilnya ke arah pantai yang memakan waktu sekitar 30 menitan dari lokasi sekarang.
30 menit berlalu, kakak-adik itu telah tiba di sebuah pantai. Untungnya, sore ini matahari tidak terlalu menyengat sehingga Arsen tidak terlalu khawatir oleh Naresh yang masih belum boleh tersengat matahari langsung terlalu lama.
Arsen turun dari mobil usai memarkirkan mobilnya, lalu membuka pintu untuk Naresh.
Semula, Arsen akan menurunkan kursi roda untuk Naresh, namun adiknya itu menolak. Ia berjalan sendiri sedikit dan bersandar di badan mobil.
Beberapa saat keduanya saling diam, tidak ada yang bersuara atau mengatakan apapun. Arsen pikir, mungkin Naresh butuh healing. Mungkin adiknya itu jenuh berada di rumah setiap hari atau sekalinya keluar hanya ke rumah sakit.
“Resh, mau duduk ngga?” tawar Arsen setelah 15 menit berlalu.
Sebenarnya Naresh menolak, tapi Arsen memaksa sehingga ia duduk di kursi rodanya. Lagipula Arsen masih khawatir kalau otot dan saraf kaki Naresh belum terlalu kuat untuk berdiri selama itu.
Keheningan pun terjadi.
“Ehem….” Naresh berdehem.
“Haus? Abang ambil minum dulu.” Arsen mengambil botol air di dalam mobil dan Naresh kemudian meminumnya sedikit.
Kepala Naresh sedikit menengadah, ia melihat beberapa burung berterbangan di depannya. Mau-tidak mau, Arsen ikut melihatnya.
“Hasa apa kabar, ya, Bang?”
Pertanyaan Naresh membuat Arsen terkejut bukan main. Naresh bersuara selantang itu? Dan menanyakan Hasa? Bagaimana bisa? Batinnya.
“Ternyata nyembunyiin semua sendirian itu susah, ya. Apalagi sedihnya, ngga ada tempat buat bersandar atau sekadar usapan di pundak. Naresh jadi tau sehebat dan sekuat apa kembaran Naresh selama hidupnya.” Ucap Naresh lagi.
“R-Resh, lo inget Hasa? K-kok?” Arsen masih tidak percaya.
“Naresh diam bukan berarti Naresh lupa atau ngga tau, tapi Naresh tau kalau itu akan membuka luka kalian lagi. Naresh tau rumah itu terlalu asing, Bang, karena ngga ada Hasa di sana.
Tapi bukan berarti Naresh ngga terluka, Naresh… cuma mau berusaha kuat seperti Hasa yang bisa menguatkan kalian waktu Ayah-Bunda pergi, bahkan untuk Naresh sendiri. Naresh cuma berusaha… wa-walau akhirnya… Naresh tau ngga sekuat itu. Naresh ngga bisa seperti Hasa. Naresh… N-Nareshㅡ”
“Udah, Resh.” Arsen menarik Naresh ke dalam dekapannya.
Adiknya menangis. Betapa pilunya suara tangis Naresh membicarakan Hasa. Betapa perihnya ia mendengar suara itu. Tangis Naresh mengingatkannya pada Hasa saat menangis malam-malam di teras rumah kala itu.
Tidak ada yang bisa Arsen lakukan sementara Naresh menangis dalam dekapannya. Ia hanya mengusap punggung si bungsu, membiarkan adiknya menumpahkan segala perasaan yang tertahan selama ini.
“Resh, gue pulang ke Ayah sama Bunda, ya. Lo sendiri jangan lupa pulang, tapi ke pintu yang sana, ada Mas, Kakak, dan Abang. Gue pamit.” ㅡHasa, di dalam mimpi Naresh.
@makaroon99