Sulung

Adam duduk di sebuah kursi yang ada di halaman rumah sakit. Hanya dengan dibalut kaos lengan panjang yang tipis dan celana training, ia ditemani sepi dan dingin.

Sudah beberapa menit ia duduk di sana, menatap kosong apa yang ada di hadapannya namun dengan pikiran semrawut.

Tentu saja demikian, masalah yang sebelumnya belum terselesaikan, sudah ditambah lagi. Hasa dan Naresh. Pokok semrawut pikirannya hari ini.

Tapi, bukan bermaksud bahwa si kembar adalah masalah untuknya. Yang jadi masalah adalah ketidaktahuan ia tentang Hasa, padahal ia sangat tahu Naresh.

Sejak berdebat dengan Arsen tadi, Adam jadi kepikiran, atau tepatnya kembali kepikiran mengenai 'bukan kakak yang baik'. Hanya saja ia tidak menunjukkannya di depan adiknya, apalagi Naresh kembali kambuh setelah itu.

Dan perginya ia ke rumah sakit untuk mengantar Naresh merupakan beban tambahan untuk pikirannya. Bagaimana bisa ia mengabaikan Hasa tadi yang sudah jelas butuh perhatiannya walau kembarannya sedang sakit.

Adam tertekan.

Jadi anak sulung tidaklah mudah, apalagi dengan 4 orang adik, sudah tidak memiliki orangtua, dan harus jadi tulang punggung.

Sama sekali tidak mudah. Sulit.

Tapi ada hal yang lebih sulit daripada mengatur keuangan yang pas-pasan untuk 5 orang sekaligus. Yakni memahami. Memahami kondisi saudara-saudaranya yang lain.

Untuk seorang Adam, itu adalah hal yang sulit. Sejak kecil, ia sudah dituntut untuk menjadi sosok dewasa yang bertanggung jawab.

Dimulai ketika usianya 2 tahun, ia memang tidak ingat apapun tentang sang Bunda yang mengandung adik untuknya, ia hanya ingat ketika untuk pertama kalinya ia paham ketika Ayah dan Bunda mengatakan, “Jaga adiknya, ya, Mas.” di usianya yang ke-3 tahunan.

Sebagai anak, Adam hanya menuruti segala perintah orangtuanya. Sama sekali tidak ada pikiran iri ketika mereka sibuk dengan bayi mungil yang setiap hari rewel. Ia justru menikmati tangis sang adik.

Di usianya yang ke-4, ketika ia sudah paham apa itu arti adik-kakak, ia kembali diberikan sosok adik laki-laki. Kala itu, Ayah mengatakan, *“Nanti Mas ajari Kakak Afa untuk jaga adiknya, ya? Sama seperti Mas jaga Kakak Afa.”

Dan si kecil Adam hanya mengangguk kegirangan. Percaya atau tidak, dia adalah sosok anak yang sangat menyukai anak kecil. Tidak ada rasa keberatan untuk menjaga 2 adiknya, bahkan ia sendiri enggan jauh-jauh dari adik-adik.

Namun, jangan kira Adam tidak merasakan kesulitan walau saat itu usianya masih kecil. Tepatnya di usianya ke-7 tahun.

Karena jarak usia yang dekat, Rafa sangat dekat dengannya. Ke manapun Adam pergi, Rafa selalu ikut. Namun, hal itu juga dilakukan Arsen padanya. Arsen yang masih 3 tahun selalu membuntutinya.

Hari itu, Rafa mengatakan pada Adam bahwa ia tidak menyukai Arsen. Maka tak jarang pulang Rafa membuat Arsen menangis karena berusaha dekat-dekat dengan kakaknya.

Sebagai sulung yang masih kecil, Adam tentu mengadu pada Ayah dan Bundanya. Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia tidak ingin membuat Rafa sedih, tapi juga tidak bisa menjauhi Arsen.

Tapi sejak itu, justru orangtua mereka jadi lebih fokus pada Arsen kecil agar Rafa bisa bebas bermain dengan Adam tanpa ada gangguan Arsen. Dan kembali salah, Rafa kecil jadi merasa diabaikan orangtuanya.

Tidak, jangan salahkan Rafa kecil. Dia hanya anak-anak yang tidak mengerti apa-apa. Bukankah pantas jika anak usia 5 tahun butuh perhatian orangtuanya?

Dan itu adalah PR pertama Adam sebagai seorang kakak, karena ia harus bisa mengayomi Rafa agar adiknya tidak merasa kurang perhatian dari orang rumah.

Tidak sampai di situ cerita tentang si sulung dan adik-adiknya. Bunda kembali hamil, ia diberitahu bahwa ia akan memiliki adik kembar. Ia senang-senang saja, tidak merasa keberatan. Tapi berbeda respon dengan dua adiknya.

Rafa dan Arsen nampak tidak senang. Rafa sudah berpikir kalau orangtuanya akan semakin mengabaikannya, sementara Arsen lebih berpikir kalau orangtuanya akan sibuk dan nantinya lupa untuk mengurusnya. Tepatnya, Arsen takut.

Dan benar saja, Bunda dan Ayah sibuk dengan si kembar, tapi bukan berarti mengabaikan anak-anaknya yang lain. Mereka masih bersikap cukup adil, walau harus membagi segalanya dengan cukup sulit.

Kembali PR untuk si sulung yang saat itu berusia 8 tahun, ia seakan diperebutkan oleh Rafa dan Arsen. Mulai dari hal-hal kecil seperti tempat duduk di meja makan, tidur bersama, bahkan bepergian.

Sulitnya, ketika Adam mengadu pada Ayah dan Bunda, ia mendapat respon yang kurang menyenangkan.

“Mas harus kasih pengertian ke Kakak sama Abang, ya, Bunda sama Ayah harus urus adek Hasa dan Naresh dulu.”

Sebagai anak pertama, Adam menurut saja. Ia melakukan segala perintah yang diucap orangtuanya.

Bergeser ke masa awal masuk SMP, ia sudah dilepas untuk melakukan banyak hal sendiri. Bahkan tidak ada yang namanya diantar ketika hari pertama masuk sekolah. Ayah dan Bunda sibuk dengan adik-adiknya yang lain.

Belum lagi ketika ia tahu kalau si bungsuㅡNareshㅡ memiliki imun yang buruk. Tingkat ketahanan dan kesehatan tubuhnya sangat rendah, menjadikan si bungsu sering sakit bahkan bolak-balik berobat. Sehingga wajar kalau si bungsu mendapat perhatian khusus.

Dan kesulitan lainnya harus ia alami lagi sampai ia duduk di bangku SMA. Atau mungkin itu adalah puncaknya.

Adik-adiknya sudah besar, sudah mengerti banyak hal tentang kehidupan. Terutama Rafa dan Arsen. Iri dan cemburu bahkan bersaing sudah mereka alami. Semua demi mendapat perhatian orangtua mereka.

Arsen yang unggul dalam segala bidang tentu membuat orangtuanya bangga. Baik dalam akademik maupun non-akademik, semua dibabat oleh Arsen. Hal itu membuat Arsen menjadi anak kebanggaan keluarganya dan sangat dekat oleh Ayah Bundanya.

Rafa yang sejak semula tidak suka dengan Arsen pun memanas. Ia berusaha menyaingi adiknya bahkan sampai ia harus tidak tidur demi belajar. Namun ketika ia sakit, orangtuanya justru menyalahkannya.

Dan lagi, peran Adam saat itu sangatlah penting. Ia sudah seperti orangtua kedua untuk Rafa. Hanya ia satu-satunya anggota keluarga yang sangat adil.

Hal lain lagi yang Adam tahu dan ingat betul, semua adiknya akan banyak bercerita padanya. Karena menurut Rafa, Arsen, dan si kembar, Adam adalah sosok pendengar yang sangat baik. Ia tidak akan memihak siapapun dan juga pemberi solusi yang jitu.

Segala keluh kesah tentang adiknya ia tahu. Semuanya ia tampung dan disimpan rapih dalam memorinya. Sampai ia tidak sadar kalau ia tidak bisa menyimpan semuanya sendiri.

Dah semua itu seakan pecah ketika orangtuanya tiada. Pikirannya kacau dan bercabang, serta berantakan sampai ia tidak bisa membenahinya sendiri.

Hingga akhirnya memori yang selama ini ia simpan, harus terpencar bahkan hilang. Cukup banyak hal yang ia lupakan bahkan tak jarang sama sekali tidak ia ingat.

Terutama tentang Hasa.

Satu-satunya adik yang jarang berkeluh-kesah, satu-satunya adik yang selalu menjalankan semua dengan ceria dan hati bebas, satu-satunya adik yang tidak pernah mengeluh walau dunia tidak berada di pihaknya.

Bukan maksud Adam tidak peduli dengan Hasa, tapi memang cukup sedikit hal yang bisa ia ingat tentang si bungsu kedua.

Tentang alergi Hasa, bukan sengaja ia melupakannya. Itu tidak sengaja terhapus dari memorinya yang telah berpencar itu.

“Mas Adam?”

Laki-laki 26 tahun itu tersentak ketika seseorang menepuk pundaknya. Seorang perempuan dengan cardigan hitam dan celana putih menghampirinya.

“Kenapa lagi? Katanya udah ngga suka menyendiri?” tanya perempuan itu.

Adam terdiam dan sedikit menunduk.

“Lagi ada masalah, ya?”

Hanya sedikit anggukan kepala Adam untuk menjawab pertanyaan perempuan itu.

“Minum, Mas, biar rileks.” Perempuan itu memberikan sebotol air mineral yang masih tersegel.

“Terima kasih,” ucap Adam lalu menenggak air tersebut.

Cukup lama keduanya terdiam.

“Saya pikir Mas Adam beneran udah pulih, karena beberapa bulan belakangan ngga pernah konsul lagi. Ternyata belum, ya?” kata perempuan itu.

Adam hanya tersenyum tipis.

“Kalau masalahnya masih sama, saya cuma bisa bilang agar Mas lebih terbuka sama mereka. Jadi sulung itu ngga mudah dan saya tau itu. Mas ngga bisa selamanya bersembunyi dan menyembunyikan apa yang Mas rasa selama ini. Biar bagaimanapun, mereka harus tau kalau kondisi kakak sulung mereka ini ngga sebaik seperti yang mereka lihat. Salah satu cara penyembuhannya masih sama kok, Mas, selain konsul sama dokter, Mas juga harus bisa membuka sama adik-adik Mas.”

”...”

“Mas Adam masih konsumsi obatnya?”

“Engga,”

“Berarti reaksi tubuh Mas Adam udah ngga separah dulu dong?”

Bukannya menjawab, Adam menarik lengan kaosnha hingga ke siku. Di sana nampak beberapa goretan benda tumpul atau mungkin luka yang diciptakan dari kuku-kuku namun sudah mengering.

Perempuan itu menghela napas, lalu menggulung lengan kaos Adam.

“Jangan lagi, ya.” Ucapnya.

”...”

Perempuan itu tersenyum dan menepuk pundak Adam pelan, “Udah cukup saya bicara, kayaknya ini bisa saya jadikan laporan perkembangan kesehatan Mas Adam ke dr. Joshua.” Lalu ia berdiri, “Saya pamit, ya, Mas.”

Belum sempat Adam menjawab, perempuan itu sudah berjalan menjauh.

Kini ia kembali duduk sendiri. Menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar.

“Psikiater hanya bisa memberimu treatment, tapi untuk kesembuhan itu kembali pada niat dan kesungguhan diri sendiri, Adam.” ㅡdr. Joshua, 2019


@makaroon99