Teori.

Kia berjalan menjauhi Mario secara perlahan. Keningnya mengeryit sambil memikirkan apa yang telah terjadi pada laki-laki itu.

Hingga saat ia mengambil makan siang yang sudah disediakan pun, ia masih memikirkannya. Bahkan ketika bertanya pada anggota lain yang berasal dari kampus yang sama dengan Mario, laki-laki itu memang suka seperti itu. Baik dan ramah tapi cuek.

“Kia!”

Gadis itu menoleh tatkala seseorang menyapanya dari jarak beberapa meter. Matanya terbuka lebar mendapati temannya ada di hadapannya.

“Nopal?” balas Kia.

Ya, itu Naufal. Laki-laki itu kini sedang tersenyum ramah padanya juga menghampiri dirinya.

“Kok di sini, Pal?” tanya Kia.

“Abang lo tuh yang nyuruh ke sini,”

“Aih, susah emang punya abang tsundere.”

Naufal tertawa, “Mau makan? Kantin yuk, gue sekalian mau pesan, laper juga.”

“Ayo deh!”

Kia dan Naufal akhirnya pergi ke kantin kampus bersama. Mencari tempat yang nyaman dan tidak terlalu dekat dengan mahasiswa lain. Ya, setidaknya mereka masih memiliki jarak.

.

.

.

“Pal!”

Setelah beberapa saat hening usai menyelesaikan acara makan siang, akhirnya Kia membuka suara.

“Uhm?” respon Naufal.

“Tadi gue ketemu Kak Mario,”

“Jelas lah, kan dia ketua pelaksananya.”

“Tapi dia aneh, Pal. Dia bilang lagi flu, tapi begitu gue perhatiin, suaranya ngga bindeng sama sekali. Terus waktu gue samperin pas lagi minum, dia buru-buru pake masker.”

Naufal mengeryit, “Abis itu?”

“Gue tadi sempet liat pipinya memar gitu. Kayak abis kepentok atau kena pukul.”

“Jadi maksudnya, dia pakai masker buat nutupin memar di pipinya, gitu?” tebak Naufal.

Kia menggedikkan bahunya dan menggeleng, “Tapi bisa jadi sih,” ia merubah suaranya.

Naufal mengeryit, “Tapi kenapa, ya? Kata Sadam sih Bang Mario cuma ngeselin, anak panutan dan kebanggaan gitu ngga mungkin suka berantem, 'kan?”

Beberapa detik Kia terdiam, sampai ia mengingat sesuatu. Semalam Sadam mengatakan bahwa helmnya rusak karena jatuh dari tangga, lalu baru saja ia melihat memar di wajah Mario. Apa kedua hal itu ada hubungannya? Pikirnya.

Belum lagi Naufal menambahkan kalau Sadam menyuruhnya datang untuk menemani Kia di kampus ini karena ia tidak bisa menemani. Alasannya, capek dan ingin istirahat seharian. Dalam pikiran keduanya, Sadam babak belur.

“Tapi ngga mungkin juga kalau Sadam berantem sama Kak Mario.” Sangkal Kia.

Lalu Naufal mengangguk, “Bener. Semarahnya Sadam sama orang selama ini, dia ngga pernah main tangan. Apalagi kalau dia mukul pakai helm, harusnya Bang Mario ada di ICU sekarang. Itu helm yang lo beliin kerasnya ngalahin kepala batunya Sadam lho, Ki.”

Kia terkekeh kecil, lalu wajahnya berubah menjadi serius kembali.

“Terus mereka kenapa, ya?” Kia sudah mulai nampak prustasi.

“Mungkin besok lo bisa tanya sama Sadam. Siapa tau dia cerita.”

“Uhm, gue harap sih gitu. Tapi… sekarang yang bikin gue penasaran itu Kak Mario.”

“Eung….” Respon Naufal singkat yant sejujurnya ia sudah tidak tahu harus berkata apa-apa lagi, karena ia juga tidak berani memberikan spekulasi asal. Namun otaknya hanya tertuju pada satu orang. “Om Jo,” gumamnya.

Kia yang tengah menyeruput minumannya pun mengeryit, “Papa Jo?”

“Eung?” oh, rupanya Naufal tidak sengaja tadi, namun sayang pendengaran Kia begitu tajam.

“Tadi lo bilang 'Om Jo', kenapa? Apa lo ada feeling tentang Papa Jo?”

Naufal menatap ke segala arah. Seharusnya ini cukup ia sembunyikan, kasihan jika Kia jadi kepikiran sepetti ini padahal sebelumnya gadis itu ingin menyudahi mencaritahu hari ini.

“Ngga tau, kepikiran aja sih.” Jawab Naufal.

“Tapi Sadam bilang kalau Papa Jo ngga pernah main tangan kok,”

“Kalau gitu… feeling gue salah.” Cengir Naufal, “Semoga aja aja Bang Mario ngga ada masalah sama keluarganya. Kalau sama temen, ya wajarlah anak muda.”

Kia mengangguk setuju. Ia harap memar yang Mario dapat bukan dari keluarganya.

@makaroon99