TSABITA-
Sementara itu Tsabita, ia sudah sampai di rumah setelah perjalanan selama 15 menit ke rumah menggunakan ojek online. Tadi sebelum keluar ruangan nonton di rumah Cheryl, ia sudah lebih dulu memesan ojek. Tapi karena buru-buru, tanpa ia sadari, ponselnya tertinggal.
Kini gadis itu sudah berada di dalam rumahnya. Sepi seperti biasa walau ia tahu sang Bunda ada di dalam.
Tsabita terlambat pulang. Yang seharusnya ia sudah di rumah pukul 20.20 seperti yang diminta sang Bunda, ia justru tiba sejam setelahnya.
“Kamu ngga bisa lihat jam, hm?”
Suara tajam itu terdengar di telinga Tsabita, serta tarikan di rambutnya yang cukup kuat.
“Setelah kamu membuat keributan di kampus hari ini, kamu pulang terlambat dan mengabaikan peringatan saya, hah?” ucap Alya lagi.
“M-Maaf, Bunda. T-Tadi Bitaㅡ”
“APA YANG KAMU LAKUKAN DENGAN AYAH KAMU DI KAMPUS TADI, HAH??” Alya membentak Tsabita sambil menghempas kepala anak itu ke sembarang arah.
Tubuh Tsabita sedikit melayang sebelum akhirnya menghantam tembok karena kehilangan keseimbangannya.
“Saya 'kan sudah bilang untuk keep it secret, Tsabita! Atau sebenarnya mereka sudah tahu kalau kamu anaknya Johan, iya?”
Tsabita menggeleng, “Engga, Bunda. Mereka belum tau. A-Ayah sama Tsabita masih rahasiain ini, Bunda.”
“Terus ngapain kamu tadi, hah? Sengaja mancing? Dasar tidak tahu diri! Sudah bagus saya mau membiayai hidup kamu, kasih kamu pendidikan sampai sekarang! APA KAMU LAGI SENGAJA MANCING SUPAYA DIAKUI OLEH SAYA, IYA?”
Lagi, sebuah pukulan melayang di wajah Tsabita. Ketahuilah, bahwa Alya separah itu tidak bisa menahan emosi jika sudah berhadapan dengan Tsabita.
“KAMU ITU DENGAR SAYA NGGA SIH??”
Bruk!
Tubuh Tsabita menghantam meja kaca yang ada di ruang tamu itu. Ia meringis kesakitan karena lengannya terluka kena bagian meja yang tajam.
“Pokoknya saya ngga mau tau, ngga ada orang yang boleh tau kamu anak saya dan Johan! Kalaupun berita itu tersebar macam-macam, saya akan buat Ayah kamu kehilangan pekerjaannya, Tsabita.”
“J-Jangan, Bunda. Kasihan, Ayah.” Mohon Tsabita pada Bundanya.
“Ya makanya kalau saya omongin tuh didengar, bodoh!”
“M-Maaf, Bunda.” Tsabita mendekati Alya, tapi ia ditendang cukup keras hingga sepatu wanita itu mengenai wajahnya. Hidung Tsabita berdarah.
“ALYA!!”
Johan yang seharusnya dinas di luar Kota sesuai jadwal mengajarnya, tiba-tiba datang. Ia terkejut bukan main ketika melihat anak semata wayangnya terluka akibat perbuatan istrinya.
“Bita, astaga!” Johan mengusap darah dari hidung Tsabita, lalu ia menatap istrinya tajam. “Jadi begini sikap kamu terhadap Bita kalau aku ngga di rumah?”
”...” Alya diam, namun tatapannya masih sangat tajam pada Tsabita yang kini berdiri di belakang Johan.
“ALYA JAWAB!!!* Bentak Johan.
“IYA! BEGINI SIKAPKU KE ANAKMU!”
“DIA ANAKMU JUGA, ALYA!”
“Ngga! Dia cuma anakmu, Johan. DIA ANAK KAMU!”
“Al! Mau sampai kapan kamu seperti ini? Cukup kamu tutup mata terhadap Bita, cukup kamu ngga pernah ada waktu untuk dia, jangan kamu tambahㅡ”
“Sejak awal aku bilang sama kamu untuk ngga mau punya anak, Johan! Aku ngga pernah mengharapkan dia! Aku ngga pernah mau duniaku ada dia! Aku cuma mau kamu dan pekerjaanku! Tapi kamu egois! Kamu meminta aku untuk mempertahankan dia! Kamu bikin batin aku terluka karena hal itu! Kamu sadar ngga sih?!” Balas Alya.
“Iya, aku tau. Aku paham, Alya. Tapi tetap dia darah daging kamu. Setidaksuka apapun kamu padanya, ngga perlu kamu main fisik dengan dia. Cukup kamu ngelukain aku, jangan Bita juga, Al!”
“Lihat! Lihat kamu udah berubah! Kamu berubah sejak ada anak ini! Kamu bukan Johan yang dulu aku kenal! Kamu sekarang selalu menomorduakan aku, Johan.”
”...”
“Aku ngga suka dengan anak itu, Jo.” Alya tiba-tiba melemah, ia menangis. “Aku ngga ingin dia.”
Johan menghampiri Alya, memegang pundak sang istri. “Al, tenangin diri kamu dulu, ya? Aku ambilkan minum.” Kemudian ia mengambilkan minum untuk Alya.
Sesaat mereka terdiam setelah Alya minum air pemberian Johan.
“Setelah kabar di kampus hari ini, apa yang akan kamu lakukan, Jo?” tanya Alya.
Johan tidak segaptek itu untuk tahu apa yang terjadi. Dan hal itu juga yang membuatnya rela kembali ke Kota ini setelah mengajar di Kota sebelah yang harus menempuh perjalanan 4 jam lamanya.
“Maaf, ini salahku, Al.”
Alya menggeleng, “Bukan, ini salah anak itu, Jo.”
“Alya?”
“Kalau anak itu ngga ada di sini, kamu ngga harus kesulitan, Jo.”
“Anak itu yang kamu sebut adalah anakmu, Alya. Stop jangan seperti ini terus.”
“Kamu pilih aku atau dia?”
Johan mengeryit tidak paham.
“Cepat jawab kamu pilih aku atau dia, Johan?” tatap Alya tajam.
“Maksud kamu itu apa sih, Al?”
“PILIH AKU ATAU DIA, JOHAN? JAWAB!!” Pekik Alya, “Kalau kamu pilih aku, kamu bisa tetap di sini dan berkarir seperti biasa. Tapi kalau kamu pilih dia, angkat kaki dari rumah ini!”
“Alya, kamu tuh apa-apaan sih?”
“Aku ngga mau liat dia lagi, Jo.”
“Aku ngga akan ninggalin anakku, Alya.”
“Kalau gitu silahkan kalian angkat kaki dari rumahku.”
“B-Bunda…?”
“JANGAN PANGGIL SAYA BUNDA! SAYA BUKAN BUNDA KAMU!” Bentak Alya sambil menyambar rambut Tsabita dan kembali menghempasnya.
“Alya! Keterlaluan kamu!” Emosi, Johan tidak sengaja menampar Alya, hal yang tidak pernah ia lakukan seribut apa keduanya.
Alya menatap Johan sinis, ia tersenyum. “Kamu memilih dia, hm? Silahkan! SILAHKAN KALIAN ANGKAT KAKI DARI RUMAH INI SEKARANG!”
“OKE! AKU AKAN ANGKAT KAKI!” Balas Johan, lalu menarik anak gadisnya menuju keluar.
“Dan aku akan memblokir nama kamu untuk semua Instansi, Johan Adhitama.” Ucap Alya lagi dengan pelan, membuat langkah kaki Johan terhenti. “Dan juga mengeluarkan Tsabita dari kampus, serta kupastikan dia ngga akan bisa keterima di kampus manapun setelahnya.” Lanjut Alya.
Mendengar hal itu, seketika Tsabita mendorong sang Ayah ke dalam rumah. Dengan mata merah dan wajah basahnya, ia tersenyum.
“Tsabita aja yang pergi, Yah. Ayah ngga boleh. Ayah harus terus ngajar, Ayah harus terus jadi dosen. Dengan begitu, Tsabita masih bisa kuliah. Iya 'kan, Bunda?” ucap Tsabita.
“Tsabita?” Johan hendak menghampiri anaknya lagi, tapi tertahan oleh kalimat yang keluar dari mulut Alya.
“Dan dengan begitu, karir kamu akan tetap berjalan, Johan. Kamu masih bisa melihat Tsabita di kampus, memberi dia jajan, dan melihat dia pakai toga. Asal, kamu di sini.”
“Bener kata Bunda, Yah. Bunda kan cuma ngga mau lihat Tsabita. Ya?” kata Tsabita lagi.
Melihat tatapan Tsabita yang sangat mendu serta tatapan memohon itu, Johan luluh. Tepatnya, ia tidak bisa melakukan apapun lagi demi keselamatan anaknya.
Dan malam itu, Tsabita sungguh keluar dari rumah. Tanpa membawa apapun kecuali yang ada di dalam tasnya.
@makaroon99