Mario.
🌼
Sadam sudah tiba lagi di kediaman Papa Jo. Ia memasuki rumah yang kini nampak sepi itu. Tapi mobil Papa Jo masih terparkir di garasi, yang artinya orang rumah ada di dalam.
Dengan langkah santai, Sadam menaiki lantai 2 rumahnya. Kemudian ia berhenti di depan kamar Mario dan membukanya begitu saja.
“Bang?!”
Ia terkejut bukan main ketika melihat Mario yang sedang bertelanjang dada tengah mengobati sesuatu di pinggangnya. Tapi, bukan itu yang membuat Sadam terkejut, melainkan beberapa luka memar di tubuh kakak tirinya itu.
Sementara Mario sendiri terkejut melihat Sadam yang sudah berjalan cepat ke arahnya. Menyentuh pundaknya dan menatapnya tajam.
“Bang, ini apaan? Muka lo, badan lo...ㅡ”
“Gue ngga apa-apa.” Potong Mario.
Seketika Sadam teringat chat Kia tadi, pantas adiknya memintanya pulang dan mengatakan kasihan dengan Mario. Jadi ini alasannya.
“Papa yang mukulin lo?” tanya Sadam setelah membantu mengobati luka di tubuh dan wajah Mario.
“Eung,”
“Sejak kapan?”
”...”
“Bang, jawab gue!”
“Sejak lama, Dam. Bahkan sejak gue kecil, sebelum lo dan Bunda dateng ke rumah ini.”
“H-Hah? T-Tapi kan lo anak kesayanganㅡ”
Mario menatap Sadam tajam, “Ngga ada anak kesayangan, Dam. Asumsi lo selama ini salah.”
”...” Kini gantian Sadam yang terdiam.
“Selama ini gue hidup seperti lo. Diatur, dituntut, dan dipaksa. Bedanya, gue selalu dapat pukulan sementara lo engga.”
Sadam semakin diam tatkala mendengar ucapan Mario yang sedikit bergetar. Hingga akhirnya kakak laki-lakinya itu menceritakan apa yang ia alami.
🌼
Mario Anggara. Mungkin yang Sadam lihat selama ini hidupnya enak, tanpa tuntutan dan paksaan dari sang Papa. Padahal, kenyataannya adalah sebaliknya. Ia sama seperti Sadam.
Sejak kecil, ia diminta untuk menjadi sosok yang sempurna. Bahkan disaat anak-anak usia 3-4 tahun yang masih asyik bermain-main dengan dunianya, Mario sudah harus belajar. Keterlaluan? Memang. Papa Jo ingin anaknya tumbuh jadi sosok yang sempurna terutama dalam akademik.
Hingga dewasa pun, ia masih terus dituntut. Jangan kira ketika sekolah ia jadi anggota OSIS dan di kampus menjadi Presiden Mahasiswa itu keinginannya sendiri, semua paksaan dan tuntutan sang Papa. Seperti yang dilakukan pada Sadam.
Hanya saja, Papa Jo tidak menunjukkan pemaksaan itu di depan Sadam. Pasti selalu di belakang. Entah saat Sadam tidak ada, maupun sudah tidur. Papa Jo akan terus mengecek anaknya hingga tengah malam, bahkan sampai Mario sendiri selesai berkutat dengan buku dan laptop.
Sementara pukulan yang Mario dapatkan sering terjadi karena sang Papa emosi. Entah karena kelakuan Sadam atau dia sendiri. Ia yang menjadi tameng, ia yang menjadikan dirinya sebagai pelampiasan, ia yang merelakan semua pukulan itu menghampirinya. Bukan Sadam atau mungkin Bundanya.
Tidak. Mario tidak akan membiarkan itu terjadi.
“Lo bego, Bang! Kenapa lo ngebiarin Papa mukul lo sementara harusnya gue yang dapetin itu?” Sadam marah dengan mata yang sudah berair.
Mario menggeleng, “Gue ngga bisa, Dam.”
“Kenapa? Kenapa ngga bisa?!”
“Gue ngga mau jadi abang yang gagal lagi! Gue ngga mau adik gue ngerasain tersiksa lagi!” Balas Mario dengan tak kalah emosi.
Sadam mengeryitkan keningnya, “Lagi? Maksudnya?”
Mario terdiam sesaat, menatap langit-langit kamar menahan air matanya agar tidak jatuh.
“Gue juga punya kembaran, Dam.” Ucap Mario.
“Hah?”
“Namanya Mahen. Hidupnya berhenti sampai di usia 9 tahun. Dia sakit… ngga bisa bertahan akibat tekanan dari yang Papa kasih. Gue maupun dia sama-sama ngga berhenti dipukul ketika membuat kesalahan. Tapi dia lebih ngeyel, mirip lo. Makanya Papa lebih sering mukul dia dibanding gue. Tapi, dia jauh lebih lemah dari gue.”
”...”
“Gue merasa bersalah karena saat itu gue ngga bisa bela dia, gue ngga cukup berani. Makanya waktu Papa mau nikahin Bunda dan lo bakal jadi saudara gue, gue takut. Gue dingin bukan karena ngga suka sama lo, gue takut kejadian dulu terulang. Sampai akhirnya gue nego sama Papa, apapun yang terjadi, dia ngga boleh mukul lo. Untuk menebus rasa bersalah gue ke Mahen dulu, gue siap jadi pelampiasan Papa jikalau dia marah sama lo. Gue ngga mau lo kenapa-kenapa karena Papa.”
Tangan Sadam mengepal kuat hingga kuku-kukunya memutih.
“Dan selama ini lo cuma diem diperlakukan kayak gitu? Lo juga ngga marah karena gue menganggap lo anak kesayangan Papa, gue yang ngga tau apa-apa padahal setiap hari lo kesakitan.”
“Lo paham love-language, 'kan? Seperti ini yang bisa gue lakuin buat lo. Lo adik gue yang gue sayang dan yang ingin gue lindungi, begini cara gue, Dam.”
Sadam menghela napas, tepatnya mengatur napas karena sebenarnya saat ini semua emosinya telah bercampur aduk. Marah, sedih, sakit, haru. Semua.
“Mulai sekarang jangan lagi jadiin diri lo sebagai tameng atau pelampiasan cuma buat adik ngga tau diri kayak gue, Bang.” Ucap Sadam.
”...”
“Ayah gue bilang, 'hidup itu ikuti kata hati, bukan kata ego apalagi orang lain'. Mulai sekarang lo harus bisa melawan even itu Papa sendiri. Kalau dia salah, dia kasar, lo berhak dan boleh melawan. Itu bukan berarti lo durhaka. Lo hanya membela diri dari sesuatu yang ngga semestinya. Jangan lagi jadi bonekanya Papa, Bang. Atau hidup lo ngga akan bahagia nantinya.”
Mario tidak langsung menjawab. Ia terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia tersenyum.
“Makasih, Dam. Kia pernah bilang begitu juga, sama persis. Tapi, gue ngga dengerin dia, makanya gue masih kayak gini.”
“Kia tau?”
Laki-laki itu mengangguk, “Sorry.”
“Terserah lah. Intinya, gue mau lo ngga gini lagi. Kalaupun lo nanti kena pukul, gue juga harus kena.”
.
.
.
@makaroon99