makaroon99

Mario.

🌼

Sadam sudah tiba lagi di kediaman Papa Jo. Ia memasuki rumah yang kini nampak sepi itu. Tapi mobil Papa Jo masih terparkir di garasi, yang artinya orang rumah ada di dalam.

Dengan langkah santai, Sadam menaiki lantai 2 rumahnya. Kemudian ia berhenti di depan kamar Mario dan membukanya begitu saja.

“Bang?!”

Ia terkejut bukan main ketika melihat Mario yang sedang bertelanjang dada tengah mengobati sesuatu di pinggangnya. Tapi, bukan itu yang membuat Sadam terkejut, melainkan beberapa luka memar di tubuh kakak tirinya itu.

Sementara Mario sendiri terkejut melihat Sadam yang sudah berjalan cepat ke arahnya. Menyentuh pundaknya dan menatapnya tajam.

“Bang, ini apaan? Muka lo, badan lo...ㅡ”

“Gue ngga apa-apa.” Potong Mario.

Seketika Sadam teringat chat Kia tadi, pantas adiknya memintanya pulang dan mengatakan kasihan dengan Mario. Jadi ini alasannya.

“Papa yang mukulin lo?” tanya Sadam setelah membantu mengobati luka di tubuh dan wajah Mario.

“Eung,”

“Sejak kapan?”

”...”

“Bang, jawab gue!”

“Sejak lama, Dam. Bahkan sejak gue kecil, sebelum lo dan Bunda dateng ke rumah ini.”

“H-Hah? T-Tapi kan lo anak kesayanganㅡ”

Mario menatap Sadam tajam, “Ngga ada anak kesayangan, Dam. Asumsi lo selama ini salah.”

”...” Kini gantian Sadam yang terdiam.

“Selama ini gue hidup seperti lo. Diatur, dituntut, dan dipaksa. Bedanya, gue selalu dapat pukulan sementara lo engga.”

Sadam semakin diam tatkala mendengar ucapan Mario yang sedikit bergetar. Hingga akhirnya kakak laki-lakinya itu menceritakan apa yang ia alami.

🌼

Mario Anggara. Mungkin yang Sadam lihat selama ini hidupnya enak, tanpa tuntutan dan paksaan dari sang Papa. Padahal, kenyataannya adalah sebaliknya. Ia sama seperti Sadam.

Sejak kecil, ia diminta untuk menjadi sosok yang sempurna. Bahkan disaat anak-anak usia 3-4 tahun yang masih asyik bermain-main dengan dunianya, Mario sudah harus belajar. Keterlaluan? Memang. Papa Jo ingin anaknya tumbuh jadi sosok yang sempurna terutama dalam akademik.

Hingga dewasa pun, ia masih terus dituntut. Jangan kira ketika sekolah ia jadi anggota OSIS dan di kampus menjadi Presiden Mahasiswa itu keinginannya sendiri, semua paksaan dan tuntutan sang Papa. Seperti yang dilakukan pada Sadam.

Hanya saja, Papa Jo tidak menunjukkan pemaksaan itu di depan Sadam. Pasti selalu di belakang. Entah saat Sadam tidak ada, maupun sudah tidur. Papa Jo akan terus mengecek anaknya hingga tengah malam, bahkan sampai Mario sendiri selesai berkutat dengan buku dan laptop.

Sementara pukulan yang Mario dapatkan sering terjadi karena sang Papa emosi. Entah karena kelakuan Sadam atau dia sendiri. Ia yang menjadi tameng, ia yang menjadikan dirinya sebagai pelampiasan, ia yang merelakan semua pukulan itu menghampirinya. Bukan Sadam atau mungkin Bundanya.

Tidak. Mario tidak akan membiarkan itu terjadi.

“Lo bego, Bang! Kenapa lo ngebiarin Papa mukul lo sementara harusnya gue yang dapetin itu?” Sadam marah dengan mata yang sudah berair.

Mario menggeleng, “Gue ngga bisa, Dam.”

“Kenapa? Kenapa ngga bisa?!”

“Gue ngga mau jadi abang yang gagal lagi! Gue ngga mau adik gue ngerasain tersiksa lagi!” Balas Mario dengan tak kalah emosi.

Sadam mengeryitkan keningnya, “Lagi? Maksudnya?”

Mario terdiam sesaat, menatap langit-langit kamar menahan air matanya agar tidak jatuh.

“Gue juga punya kembaran, Dam.” Ucap Mario.

“Hah?”

“Namanya Mahen. Hidupnya berhenti sampai di usia 9 tahun. Dia sakit… ngga bisa bertahan akibat tekanan dari yang Papa kasih. Gue maupun dia sama-sama ngga berhenti dipukul ketika membuat kesalahan. Tapi dia lebih ngeyel, mirip lo. Makanya Papa lebih sering mukul dia dibanding gue. Tapi, dia jauh lebih lemah dari gue.”

”...”

“Gue merasa bersalah karena saat itu gue ngga bisa bela dia, gue ngga cukup berani. Makanya waktu Papa mau nikahin Bunda dan lo bakal jadi saudara gue, gue takut. Gue dingin bukan karena ngga suka sama lo, gue takut kejadian dulu terulang. Sampai akhirnya gue nego sama Papa, apapun yang terjadi, dia ngga boleh mukul lo. Untuk menebus rasa bersalah gue ke Mahen dulu, gue siap jadi pelampiasan Papa jikalau dia marah sama lo. Gue ngga mau lo kenapa-kenapa karena Papa.”

Tangan Sadam mengepal kuat hingga kuku-kukunya memutih.

“Dan selama ini lo cuma diem diperlakukan kayak gitu? Lo juga ngga marah karena gue menganggap lo anak kesayangan Papa, gue yang ngga tau apa-apa padahal setiap hari lo kesakitan.”

“Lo paham love-language, 'kan? Seperti ini yang bisa gue lakuin buat lo. Lo adik gue yang gue sayang dan yang ingin gue lindungi, begini cara gue, Dam.”

Sadam menghela napas, tepatnya mengatur napas karena sebenarnya saat ini semua emosinya telah bercampur aduk. Marah, sedih, sakit, haru. Semua.

“Mulai sekarang jangan lagi jadiin diri lo sebagai tameng atau pelampiasan cuma buat adik ngga tau diri kayak gue, Bang.” Ucap Sadam.

”...”

“Ayah gue bilang, 'hidup itu ikuti kata hati, bukan kata ego apalagi orang lain'. Mulai sekarang lo harus bisa melawan even itu Papa sendiri. Kalau dia salah, dia kasar, lo berhak dan boleh melawan. Itu bukan berarti lo durhaka. Lo hanya membela diri dari sesuatu yang ngga semestinya. Jangan lagi jadi bonekanya Papa, Bang. Atau hidup lo ngga akan bahagia nantinya.”

Mario tidak langsung menjawab. Ia terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia tersenyum.

“Makasih, Dam. Kia pernah bilang begitu juga, sama persis. Tapi, gue ngga dengerin dia, makanya gue masih kayak gini.”

“Kia tau?”

Laki-laki itu mengangguk, “Sorry.”

“Terserah lah. Intinya, gue mau lo ngga gini lagi. Kalaupun lo nanti kena pukul, gue juga harus kena.”

.

.

.

@makaroon99

Mario.

🌼

Sadam sudah tiba lagi di kediaman Papa Jo. Ia memasuki rumah yang kini nampak sepi itu. Tapi mobil Papa Jo masih terparkir di garasi, yang artinya orang rumah ada di dalam.

Dengan langkah santai, Sadam menaiki lantai 2 rumahnya. Kemudian ia berhenti di depan kamar Mario dan membukanya begitu saja.

“Bang?!”

Ia terkejut bukan main ketika melihat Mario yang sedang bertelanjang dada tengah mengobati sesuatu di pinggangnya. Tapi, bukan itu yang membuat Sadam terkejut, melainkan beberapa luka memar di tubuh kakak tirinya itu.

Sementara Mario sendiri terkejut melihat Sadam yang sudah berjalan cepat ke arahnya. Menyentuh pundaknya dan menatapnya tajam.

“Bang, ini apaan? Muka lo, badan lo...ㅡ”

“Gue ngga apa-apa.” Potong Mario.

Seketika Sadam teringat chat Kia tadi, pantas adiknya memintanya pulang dan mengatakan kasihan dengan Mario. Jadi ini alasannya.

“Papa yang mukulin lo?” tanya Sadam setelah membantu mengobati luka di tubuh dan wajah Mario.

“Eung,”

“Sejak kapan?”

”...”

“Bang, jawab gue!”

“Sejak lama, Dam. Bahkan sejak gue kecil, sebelum lo dan Bunda dateng ke rumah ini.”

“H-Hah? T-Tapi kan lo anak kesayanganㅡ”

Mario menatap Sadam tajam, “Ngga ada anak kesayangan, Dam. Asumsi lo selama ini salah.”

”...” Kini gantian Sadam yang terdiam.

“Selama ini gue hidup seperti lo. Diatur, dituntut, dan dipaksa. Bedanya, gue selalu dapat pukulan sementara lo engga.”

Sadam semakin diam tatkala mendengar ucapan Mario yang sedikit bergetar. Hingga akhirnya kakak laki-lakinya itu menceritakan apa yang ia alami.

🌼

Mario Anggara. Mungkin yang Sadam lihat selama ini hidupnya enak, tanpa tuntutan dan paksaan dari sang Papa. Padahal, kenyataannya adalah sebaliknya. Ia sama seperti Sadam.

Sejak kecil, ia diminta untuk menjadi sosok yang sempurna. Bahkan disaat anak-anak usia 3-4 tahun yang masih asyik bermain-main dengan dunianya, Mario sudah harus belajar. Keterlaluan? Memang. Papa Jo ingin anaknya tumbuh jadi sosok yang sempurna terutama dalam akademik.

Hingga dewasa pun, ia masih terus dituntut. Jangan kira ketika sekolah ia jadi anggota OSIS dan di kampus menjadi Presiden Mahasiswa itu keinginannya sendiri, semua paksaan dan tuntutan sang Papa. Seperti yang dilakukan pada Sadam.

Hanya saja, Papa Jo tidak menunjukkan pemaksaan itu di depan Sadam. Pasti selalu di belakang. Entah saat Sadam tidak ada, maupun sudah tidur. Papa Jo akan terus mengecek anaknya hingga tengah malam, bahkan sampai Mario sendiri selesai berkutat dengan buku dan laptop.

Sementara pukulan yang Mario dapatkan sering terjadi karena sang Papa emosi. Entah karena kelakuan Sadam atau dia sendiri. Ia yang menjadi tameng, ia yang menjadikan dirinya sebagai pelampiasan, ia yang merelakan semua pukulan itu menghampirinya. Bukan Sadam atau mungkin Bundanya.

Tidak. Mario tidak akan membiarkan itu terjadi.

“Lo bego, Bang! Kenapa lo ngebiarin Papa mukul lo sementara harusnya gue yang dapetin itu?” Sadam marah dengan mata yang sudah berair.

Mario menggeleng, “Gue ngga bisa, Dam.”

“Kenapa? Kenapa ngga bisa?!”

“Gue ngga mau jadi abang yang gagal lagi! Gue ngga mau adik gue ngerasain tersiksa lagi!” Balas Mario dengan tak kalah emosi.

Sadam mengeryitkan keningnya, “Lagi? Maksudnya?”

Mario terdiam sesaat, menatap langit-langit kamar menahan air matanya agar tidak jatuh.

“Gue juga punya kembaran, Dam.” Ucap Mario.

“Hah?”

“Namanya Mahen. Hidupnya berhenti sampai di usia 9 tahun. Dia sakit… ngga bisa bertahan akibat tekanan dari yang Papa kasih. Gue maupun dia sama-sama ngga berhenti dipukul ketika membuat kesalahan. Tapi dia lebih ngeyel, mirip lo. Makanya Papa lebih sering mukul dia dibanding gue. Tapi, dia jauh lebih lemah dari gue.”

”...”

“Gue merasa bersalah karena saat itu gue ngga bisa bela dia, gue ngga cukup berani. Makanya waktu Papa mau nikahin Bunda dan lo bakal jadi saudara gue, gue takut. Gue dingin bukan karena ngga suka sama lo, gue takut kejadian dulu terulang. Sampai akhirnya gue nego sama Papa, apapun yang terjadi, dia ngga boleh mukul lo. Untuk menebus rasa bersalah gue ke Mahen dulu, gue siap jadi pelampiasan Papa jikalau dia marah sama lo. Gue ngga mau lo kenapa-kenapa karena Papa.”

Tangan Sadam mengepal kuat hingga kuku-kukunya memutih.

“Dan selama ini lo cuma diem diperlakukan kayak gitu? Lo juga ngga marah karena gue menganggap lo anak kesayangan Papa, gue yang ngga tau apa-apa padahal setiap hari lo kesakitan.”

“Lo paham love-language, 'kan? Seperti ini yang bisa gue lakuin buat lo. Lo adik gue yang gue sayang dan yang ingin gue lindungi, begini cara gue, Dam.”

Sadam menghela napas, tepatnya mengatur napas karena sebenarnya saat ini semua emosinya telah bercampur aduk. Marah, sedih, sakit, haru. Semua.

“Mulai sekarang jangan lagi jadiin diri lo sebagai tameng atau pelampiasan cuma buat adik ngga tau diri kayak gue, Bang.” Ucap Sadam.

”...”

“Ayah gue bilang, 'hidup itu ikuti kata hati, bukan kata ego apalagi orang lain'. Mulai sekarang lo harus bisa melawan even itu Papa sendiri. Kalau dia salah, dia kasar, lo berhak dan boleh melawan. Itu bukan berarti lo durhaka. Lo hanya membela diri dari sesuatu yang ngga semestinya. Jangan lagi jadi bonekanya Papa, Bang. Atau hidup lo ngga akan bahagia nantinya.”

Mario tidak langsung menjawab. Ia terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia tersenyum.

“Makasih, Dam. Kia pernah bilang begitu juga, sama persis. Tapi, gue ngga dengerin dia, makanya gue masih kayak gini.”

“Kia tau?”

Laki-laki itu mengangguk, “Sorry.”

“Terserah lah. Intinya, gue mau lo ngga gini lagi. Kalaupun lo nanti kena pukul, gue juga harus kena.”

.

.

.

@makaroon99

Penjelasan.

🌼

Zidan sudah sampai di rumah Azkia. Kebetulan, Sadam yang sedang di depan, sehingga laki-laki 17 tahun itu harus bertatap wajah dengan kakak dari Kia yang menurutnya jutek itu.

“Mau ngapain lo pagi-pagi?” tanya Sadam.

“Mau ketemu Kak Azkia, mau ada yang saya obrolin, Bang Sadam. Udah bilang Kak Azkia kok tadi mau ke sini.” Jelas Zidan.

Belum Sadam menyahuti ucapan Zidan, Azkia sudah terlihat di ambang pintu, sedikit berlari dan tersenyum pada Zidan.

“Zidan, ayo masuk!” Ajak Kia.

“Eh, ngga usah, Kak. Di sini aja.” Tolak Zidan.

“Tuh duduk di teras. Ya kali lo mau ngobrol sambil berdiri.” Sadam menunjuk kursi yang ada di teras.

“Abang mau sekalian ikut ngobrol ngga?” tanya Kia pelan.

Sadam mengeryit, “Ngapain?”

“Ini tentang Rey.”

Mendengar nama 'Rey', Sadam akhirnya menyetujuinya. Walau semalam ia sudah mendengarkan penjelasan Rey, tapi ia jadi penasaran dengan yang akan diceritakan Zidan.

Mereka bertiga akhirnya duduk bersama di kursi yang ada di teras. Lalu Zidan memulai penjelasannya.

Jadi, Zidan sebenarnya mengenal Rey belum lama ini. Tepatnya sehari setelah ia mengantar Kia pulang, ketika malam itu ia melihat lockscreen pada ponsel Kia.

Mama Zidan adalah seorang Ibu sosialita, yang sangat gemar arisan bersama rekan-rekannya. Dan tidak jarang ia menemani sang Mama. Di sanalah ia mengenal Mama Rey. Yang Zidan tahu, wanita itu sangat suka membanggakan seorang Reynard Aiden si anak kedokteran, sama seperti Mamanya yang sangat senang membanggakan Jemima Tiffany, kakak sulungnya, yang biasa disapa Mima.

Karena hal itu, kedua Ibu itu ingin menjodohkan anak mereka. Dan kebetulan sekali keduanya saling kenal dan cukup dekat karena ada di kelas yang sama. Seingat Zidan, itu terjadi di awal tahun.

Awalnya, Zidan tidak masalah dengan hal itu. Toh kakaknya sudah besar, mau dijodohkan atau tidak, itu bukan urusannya. Lagipula sebenarnya, ia tidak terlalu akrab dengan sang kakak.

Hingga malam di mana ia lihat lockscreen pada ponsel Kia, ia menanyakan pada sang kakak tentang hubungannya dengan Rey. Mima bilang, Rey sudah putus dengan Kia sejak awal kuliah. Sama seperti yang dikatakan Mama Rey selama arisan.

Tapi karena Zidan kurang yakină…ˇkarena Kia bilang sudaj pacaran 2 tahună…ˇ, esok harinya ia menghubungi Mama Rey dan mengkontak laki-laki itu. Dari sanalah ia tahu bahwa Rey dan Mima hanya dekat, tidak berpacaran. Rey yang sangat jelas jika tidak suka dengan orang lain, secara gamblang mengatakan bahwa Mima yang mengejarnya.

Namun belum sempat Zidan melanjutkan ceritanya, Rey dan Ayahnya datang. Dengan wajah tegang, Rey menatap Kia yang matanya merah dan sedikit sembab.

“Kia?” panggil Rey sambil menatap Kia.

“R-Rey?”

Rey melangkah mendekati Kia, kemudian tanpa diduga sebuah pukulan mendarat di pipi kirinya. Sadam pelakunya.

“Sorry, tangan gue gatel, anjir.” Ucap Sadam santai, “Om, maaf, anaknya Sadam pukul.” Katanya pada Tama dan pria itu hanya mengangguk.

Sementara Rey tidak protes atau apapun. Ia terima saja bahkan jika Sadam memukulnya berulang kali. Anggap saja hukuman untuk seorang pengecut untuknya.

“Maaf.” Ucap Rey, “Maafin pacar kamu yang pengecut ini, Kia.”

“Rey…” Kia sudah ingin menangis lagi.

“Daripada lo cuma minta maaf, mendingan langsung jelasin ke Kia deh, Rey.” Ujar Sadam.

Rey melirik sang Ayah, “Iya Ayah masuk deh. Dam, Ayahmu ada di dalam, 'kan?” tanya Tama.

“Ada di dapur Om, lagi bersihin blender tadi.” Jawab Sadam.

Akhirnya Tama masuk, meninggalkan keempat anak muda itu. Sampai akhirnya Rey menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Kia dan Sadam.

Tidak jauh berbeda dengan yang dijelaskan Zidan tadi. Perjodohan, pemaksaan, dan tekanan. Rey merasakan itu lagi walau sudah jauh dari Mamanya.

Mama Rey tidak suka dengan Kia si calon musisi. Ia pikir, akan lebih keren dan hebat jika seorang calon dokter bersama calon dokter juga. Pasangan dokter adalah yang terbaik menurut Mama Rey.

Masalah akun kedua twitter Rey yang dikunci, bukan seperti tuduhan teman-temannya. Rey hanya risih dengan banyak orang yang ingin bermutualan dengannya. Rasanya, ia tidak bebas berkelana di akun tersebut. Serta menghindari sang Mama yang selalu memantaunya.

Selain itu, Rey tidak ingin jika ia memposting foto Kia, teman-temannya di kampus sana tahu. Singkatnya, Rey tidak ingin cantiknya Kia dilihat banyak orang. Biarlah circle-nya saja. Dengan begitu, ia akan jauh lebih bebas.

Dan masalah chat itu, Rey mengaku di jam makan siang itu ponselnya sudah hilang. Bahkan saat sang Ayah sampai di kostnya pun ia tidak tahu. Ia baru tahu malam hari, karena Ayahnya kembali lagi ke kostnya karena khawatir ponselnya tidak bisa dihubungi.

“Demi Tuhan, Kia, sama sekali ngga pernah sedekat itu sama Mima.” Kata Rey, “Cuma aku aja yang pengecut, aku ngga berani tegas ke Mama bahkan ke diriku sendiri.” Tambahnya.

“Padahal kalau kamu cerita, aku ngga masalah.” Respon Kia.

“Iya, maaf. Maaf, pacar kamu terlalu pengecut.”

Sadam menghela napas, “Terus lo sama Zidan ini gimana?”

“Sejak Zidan ngehubungi gue, gue minta tolong sama Zidan untuk jagain Kia. Kebetulan, ternyata Zidan deket sama Kia.”

“Lo bisa minta gue atau yang lain,”

Rey menggeleng, “Ngga tau kenapa gue takut sama kalian, dan Zidan jadi opsi utama gue saat itu.”

“Jadi selama ini Zidan selalu nguatin aku dan ngaskh kata-kata untum ngeyakinin aku tentang LDR sama Rey itu… udah terencana?” tanya Kia.

Zidan mengangguk, “Iya, Kak. Tapi terlepas dari itu, Zidan memang peduli sama Kak Azkia. Zidan mau bantu Kak Rey buat jaga Kak Azkia. Kak Azkia yang lebih bisa menghargai Zidan selayaknya seorang kakak pada adiknya daripada Kak Mima pada Zidan, adik kandungnya sendiri.” Jelasnya.

Kia yang semula tertunduk mendengar penjelasan Zidan, kini menatal Rey, “Jadi… Rey ngga selingkuh, 'kan?”

Rey menggeleng, “Engga, Kia. Aku ngga pernah selingkuh.”

“Terus Mama kamu?”

“Aku tadi udah ketemu Mama, aku udah negasin ke Mama kalau Mama ngga bisa ikut campur urusanku lagi. Mama boleh nyetir aku selama ini, ngatur hidup aku bahkan sampai kuliahku. Tapi satu yang ngga akan bisa dia setir, perasaan aku. Percintaan aku. Aku udah tegasin ke Mama kalau aku cuma mau kamu, Azkia Zanitha.”

Ucapan Rey sungguh membuat Kia tersentuh, sehingga gadis itu kembai menumpahkan air matanya. Dan tanpa malu, Rey menarik kia ke dalam dekapannya.

.

.

.

@makaroon99

Night talk.

🌼

Sadam sudah menyelesaikan acara makannya ditemani Kia. Sang Ayah sedang ada urusan keluar sehingga saat ini tidak berada di rumah. Tapi, mungkin akan pulang larut malam nanti.

Di tengah heningnya suasana meja makan, Sadam menyadari bahwa Kia memperhatikannya. Hal itu membuatnya kembali menatap Kia dan menaikkan alis.

“Kenapa ngeliatin gue gitu? Ganteng, ya, abang lo?” candanya.

Kia tersenyum kecil, lalu mengangguk. Hal itu jelas membuat Sadam tertawa, “Mengakui juga lo akhirnya kalau abang lo ganteng.”

“Terpaksa sih.” Balas Kia.

“Sialan!” Rutuk Sadam, tapi sebenarnya ia tidak serius alias tidak marah. Sudah biasa.

“Abang?” panggil Kia pelan.

“Hm?”

“Selama ini 'kan hidup lo cuma di sekitar keluarga sama temen aja, dan lo ngga punya pacar. Kalau gue boleh tau, apa sih yang bikin lo bahagia selama ini?” tanya Kia.

Sadam terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Hmm, lo.”

“Gue?”

“Iya. Ya agak aneh sih. Tapi gue jujur, kebahagiaan gue itu lo.”

Kia mengeryit, “Abang, lo ngga incest, 'kan?”

“Engga lah, gila!”

“Lagian kenapa jawabnya gue coba?”

“Lo tau 'kan dari kecil hidup kita itu udah berat. Berat banget. Tapi kita lewatk bareng-bareng, kita lewati berdua, gandengam tangan, pelukan, pokoknya semua berdua. Kita bener-bener berjuang berdua untuk melengkapi satu sama lain. Dan seharusnya, kita dulu ngga dipisah supaya bisa semakin kuat.” Jelas Sadam.

”...”

“Makanya waktu gue tau lo balik, gue rasanya seneng banget. Bertahun-tahun gue pengen ngejagain lo, tapi gagal karena terpisah oleh jarak.” Sambung Sadam.

Kia tersenyum, “Gue juga seneng waktu bisa ketemu lo lagi setiap hari. Gue ngga ngerasa sepi.”

“That's why lo itu bahagia gue. Liat lo senyum, lo ketawa, rasanya semangat gue tuh kumpul. Makanya gue selalu bilang ke temen-temen yang lain buat memperlakukan lo seperti mereka memperlakukan saudara mereka sendiri. Gue nitipin lo sama mereka karena lo tau, ngga ngga akan dua puluh empat jam bareng sama lo. Sama halnya kayak Rey yang nitipin lo ke kami. Tapi lo masih punya gue, Nopal, Japi, Rhea, bahkan Denara. Dan lo tau ngga sih apa hal yang palimg gue ngga suka?”

“Apa?”

“Kalau lo sedih.” Jawab Sadam, “Dan lo tau hal apa yang paling gue takuti?”

Kia mengangkat satu alisnya, “Uhm?”

“Kalau lo disakiti. Makanya gue selalu bilang, jangan sampai ada orang yang nyakitin lo. Kalau ada orang yang nyakitin lo, gue bakal maju paling depan.”

Gadis itu terdiam sesaat, sambil matanya masih menatap Sadam. “Kalau yang nyakitin gue itu temen lo sendiri, gimana?” tanyanya pelan.

“Siapa?”

“Rey misalnya.”

“Ya gue samperin lah. Gue pukul, gue hajar, kalau perlu mati ditangan gue juga ngga apa-apa.”

“Ish, apasih serem banget bawa-bawa nyawa?” sewot Kia.

Sadam terkekeh, “Ya makanya, jangan sampai. Tapi gue yakin sih, Rey ngga akan ngelakuin itu.”

“Kenapa bisa seyakin itu?”

”...” Kia menggedikkan bahunya.

“Gue yakin, karena gue tau kalau dia sayang banget sama lo. Walau kadang dia cuek, jarang ngabarin lo, tapi hampir tiap hari dia nelpon gue buat nanyain kabar lo.”

“Hah?”

“Iya, setiap hari.”

“Tapi kok dia malah nelpon lo, kenapa ngga ke gue langsung coba?”

“Lo bilang, dia sibuk?”

“Iya, tapi kan daripada nelpon ke lo, lebih baik ke gue langsung ngga sih?”

Lagi-lagi Sadam terkekeh, “Ki, Rey itu bucin banget sama lo. Saking dia sayangnya sama lo, dia ngga mau denger suara lo setiap hari. Dia bilang, dia takut semakin kangen dan bikin fokusnya buyar. Maka dari itu dia nanya ke gue daripada ke lo langsung.

Dan please, jangan negative thinking. Dia bener-bener sesayang itu sama lo, Kia.”

Kia terdiam, “Tapi, Bang… dia udah selingkuh, tanpa lo tau.” ucapnya dalam hati.

.

.

.

@makaroon99

Kacau.

Kia terduduk lemas di sebuah taman tidak jauh dari tempat ia bertemu Mario tadi. Sepi, dan jarang mahasiswa yang lewat. Ia menangis.

Ini adalah pertama kalinya Kia menangisi Rey setelah mereka berpisah waktu di Bandara lebih dari setahun yang lalu. Atau tepatnya, pertama kali ia menangis karena sakit hati.

Ia menunduk dalam, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan yang ia topangkan pada kedua lututnya. Menangis sesegukkan melepas sesak.

“Kak Azkia?”

Gadis itu tidak menggubris panggilan itu. Ia tetap tertunduk dan menangis. Tidak berniat mengangkat kepalanya sedikitpun.

“Kak Azkia, ini Zidan.”

Masih sama, Kia tidak sedikitpun bergerak. Ia masih terus menangis. Sampai ia merasakan sebuah tangan menyentuh pundaknya, mengusapnya perlahan dan sangat lembut.

“Kak Azkia, tarik napas, yuk? Pelan-pelan biar lega.” Ucap Zidan lagi, “Jangan nangis di sini, apalagi kakak sendirian.”

Kepala Kia perlahan terangkat. Ia mengintip Zidan yang ada di hadapannya, menatapnya dengan raut wajah khawatir.

“Z-Zidan?” gumam Kia.

“Iya, ini Zidan, Kak.”

Kepala Kia semakin terangkat, bibirnya kembali bergetar dan matanya juga mengeluarkan air kembali. Tangis Kia semakin kejar melihat ada orang di depannya.

Zidan bingung, tak tahu apa yang harus ia lakukan jika ada seseorang yang menangis, apalagi perempuan. Selain mengusap pundak, Zidan tidak berani melakukan apa-apa lagi. Hubungan mereka hanya sebatas adik dan kakak tingkat saja.

Sampai akhirnya, seseorang menarik Zidan hingga laki-laki itu terduduk di antara dedaunan kering yang berjatuhan.

“Lo ngapain temen gue, anjir?!” bentak orang itu, “Lo ngapain dia sampai nangis begini??”

Sementara seorang lagi mendekati Kia, “Ki? Lo ngga apa-apa? Lo ngga diapa-apain sama Zidan, 'kan?”

Kia menatap orang yang ada di hadapannya, ia menggeleng, “Nopal… Rey…” kemudian ia kembali menangis kencang.

Guna meredam suara tangis Kia, Naufal menarik gadis itu ke dalam dekapannya. Ia membiarkan Kia menangis, menumpahkan seluruh air matanya dalam dekapannya itu.

Sementara orang yang menarik Zidan, Javier, menatap pemuda itu tidak suka. Zidan sendiri kemudian berdiri sambil menebah debu di celananya.

“Bang, maaf, saya juga baru datang. Saya ke sini Kak Azkia udah nangis kayak gitu. Demi Tuhan saya ngga tau apa-apa.” Ucap Zidan.

Naufal yang mendengar itu, melirik Javier. Ia menunjuk ponsel Kia yang tergeletak di bawah, lalu Javier mengambilnya dan membukanya. Kebetulan ia tahu pin ponsel Kia, bahkan satu circle nya pun tahu. Tanggal lahir Rey. 2303.

“Brengsek!” Maki Javier tiba-tiba.

Mata Naufal dan Zidan beralih ke arah Javier, lalu laki-laki berkulit sangat putih itu menunjukkan roomchat bersama rey.

“Anjing!” Tidak, Naufal hanya mengumpat dalam hati.

Kemudian ia menjauhkan kepala Kia dari dadanya, ia mengusap air mata gadis itu dan menatapnya.

“Kia, lo tenang dulu, ya?” ucap Naufal.

“Gue ngga pernah putus sama Rey, Nopal. Hiks… g-gue ngga pernah putus.” Ucap Kia.

“Iya, gue tau, Kia.”

“T-Tapi Rey...ㅡ”

“Ini biar gue sama Japi aja yang urus, oke?”

“Jangan bilang sama Abang.”

Naufal menatap Javier, “Iya, kita ngga bakal kasih tau Sadam. Percayain sama kita.” Itu Javier yang menjawab.

“Sekarang cuci muka lo dulu, ya? Lo ditungguin sama Sadam buat makan.” Ujar Naufal.

Kia menggeleng, “Ngga mau ketemu Abang.”

“Tapi dia nungguin lo,“ 

“Terus liat gue abis nangis? Nanti dia marah, Japi.” Kata Kia, kukuh tidak mau bertemu Sadam.

“Ya udah, nanti lo makan di tempat lain aja. Nanti kita bilang ke Sadam kalau lo ngga bisa gabung.” Final Naufal, lalu Kia mengangguk.

“Abang ke Bang Sadam aja, Kak Azkia biar saya yang anter ke toilet.” Usul Zidan dengan sedikit takut.

Javier dan Naufal jelas mengeryit, belum begitu mempercayai Zidan yang memang tidak mereka kenal baik.

“Iya, gue sama Zidan aja. Ngga apa-apa.” Ucap Kia sambil berdiri.

“Serius?” tanya Naufal dan Javier kompak.

Kia kembali menganggukkan kepalanya, kemudian ia mengajak Zidan pergi dari sana. Tidak lupa ia memakai masker yang disimpan di dalam saku jaket  almamaternya, untuk menutupi wajahnya yang bengkak.

Kini tinggal lah Naufal dan Javier, yang sedikit ragu untuk meninggalkan tempat itu sebelum Kia benar-benar masuk ke toilet yang tidak jauh dari sana.

“Kia sama Zidan ngga apa-apa?” tanya Javier khawatir.

“Ngga apa-apa. Lo tau sendiri ceritanya Zidan dari Sadam waktu itu, 'kan?”

Javier menghela napas, “Tapi tetap aja.”

Naufal tidak merespon ucapan Javier. Ia kemudian mulai berjalan menjauhi tempat itu.

“Ini si Rey brengsek juga.” Kata Javier kesal.

”...”

“Pantesan dia bikin akun baru, dikunci pula. Apa biar ngga keliatan ceweknya yang di sana kalau dia punya pacar di sini? Biar bisa bebas selingkuh pasti.” terka Javier.

Naufal melirik, “Jangan mikir aneh-aneh, Jap. Siapa tau Rey ngga selingkuh.”

“Tapi kejadian yang ada, menunjukkan kalau dia selingkuh tuh ada jelas, Fal.”

“Tsk! Lo jangan bikin teori sendiri deh. Kalau beneran gimana? Lo siap liat Rey bonyok atau bahkan mati kalau Sadam tau?” tatap Naufal.

“Terus gimana? Cewek yang lo suka aja sekarang lagi patah hati, anjir!”

“Kok lo tau??”

“Tau lah, sat! Dikira cuma lo doang yang peka? Gue juga. Walau lo ngga ngomong, keliatan. Bahkan dari jaman SMA, dari lo jadi secret admirer-nya Kia. Dan akhirnya lo ngalah sama Rey. Gue juga tau kali kalau lo pernah kepergok sama Rey.”

Naufal mengeryit, bisa-bisanya Javier tahu? Bahkan perihal kepergok Rey? Saat Rey menghampirinya dan menyodorkan notes dengan tulisan tangan yang saat itu dengan mudahnya Rey bisa menebak itu tulisan tangan miliknya. Dan karena itu ia memilih merelakan Kia dengan Rey.

Dan memang benar, Javier tahu. Tapi ia lebih baik tutup mulut karena pada dasarnya dia bukan manusia bermulut ember walau tingkahnya konyol.

Sementara Sadam, apa sih yang bisa Kia sembunyikan dari kakak kembarannya itu? Apapun juga gadis itu ceritakan. Tapi Sadam pun sama dengan Javier. Lebih baik diam dan menganggap semua tidak ada alias angin berlalu.

Semua demi persahabatan mereka, agar tidak renggang apalagi sampai terpecah.

“Lo tau ngga sih, Jap, rasanya gue mau nyamperin Rey.” Ucap Naufal pelan.

Javier menoleh, “Mau ngapain?”

“Mau nonjok dia.”

“Kata lo, jangan gegabah?”

“Mau dia selingkuh atau engga, tonjokkan itu buat bayar karena dia udah bikin Kia nangis.” Jawab Naufal dingin, kemudian ia berjalan cepat.

Sementara Javier, ia mengepal tangannya. “Bisa mati lo, Rey.” Lalu pergi menyusul Naufal.

@makaroon99

Teori.

Kia berjalan menjauhi Mario secara perlahan. Keningnya mengeryit sambil memikirkan apa yang telah terjadi pada laki-laki itu.

Hingga saat ia mengambil makan siang yang sudah disediakan pun, ia masih memikirkannya. Bahkan ketika bertanya pada anggota lain yang berasal dari kampus yang sama dengan Mario, laki-laki itu memang suka seperti itu. Baik dan ramah tapi cuek.

“Kia!”

Gadis itu menoleh tatkala seseorang menyapanya dari jarak beberapa meter. Matanya terbuka lebar mendapati temannya ada di hadapannya.

“Nopal?” balas Kia.

Ya, itu Naufal. Laki-laki itu kini sedang tersenyum ramah padanya juga menghampiri dirinya.

“Kok di sini, Pal?” tanya Kia.

“Abang lo tuh yang nyuruh ke sini,”

“Aih, susah emang punya abang tsundere.”

Naufal tertawa, “Mau makan? Kantin yuk, gue sekalian mau pesan, laper juga.”

“Ayo deh!”

Kia dan Naufal akhirnya pergi ke kantin kampus bersama. Mencari tempat yang nyaman dan tidak terlalu dekat dengan mahasiswa lain. Ya, setidaknya mereka masih memiliki jarak.

.

.

.

“Pal!”

Setelah beberapa saat hening usai menyelesaikan acara makan siang, akhirnya Kia membuka suara.

“Uhm?” respon Naufal.

“Tadi gue ketemu Kak Mario,”

“Jelas lah, kan dia ketua pelaksananya.”

“Tapi dia aneh, Pal. Dia bilang lagi flu, tapi begitu gue perhatiin, suaranya ngga bindeng sama sekali. Terus waktu gue samperin pas lagi minum, dia buru-buru pake masker.”

Naufal mengeryit, “Abis itu?”

“Gue tadi sempet liat pipinya memar gitu. Kayak abis kepentok atau kena pukul.”

“Jadi maksudnya, dia pakai masker buat nutupin memar di pipinya, gitu?” tebak Naufal.

Kia menggedikkan bahunya dan menggeleng, “Tapi bisa jadi sih,” ia merubah suaranya.

Naufal mengeryit, “Tapi kenapa, ya? Kata Sadam sih Bang Mario cuma ngeselin, anak panutan dan kebanggaan gitu ngga mungkin suka berantem, 'kan?”

Beberapa detik Kia terdiam, sampai ia mengingat sesuatu. Semalam Sadam mengatakan bahwa helmnya rusak karena jatuh dari tangga, lalu baru saja ia melihat memar di wajah Mario. Apa kedua hal itu ada hubungannya? Pikirnya.

Belum lagi Naufal menambahkan kalau Sadam menyuruhnya datang untuk menemani Kia di kampus ini karena ia tidak bisa menemani. Alasannya, capek dan ingin istirahat seharian. Dalam pikiran keduanya, Sadam babak belur.

“Tapi ngga mungkin juga kalau Sadam berantem sama Kak Mario.” Sangkal Kia.

Lalu Naufal mengangguk, “Bener. Semarahnya Sadam sama orang selama ini, dia ngga pernah main tangan. Apalagi kalau dia mukul pakai helm, harusnya Bang Mario ada di ICU sekarang. Itu helm yang lo beliin kerasnya ngalahin kepala batunya Sadam lho, Ki.”

Kia terkekeh kecil, lalu wajahnya berubah menjadi serius kembali.

“Terus mereka kenapa, ya?” Kia sudah mulai nampak prustasi.

“Mungkin besok lo bisa tanya sama Sadam. Siapa tau dia cerita.”

“Uhm, gue harap sih gitu. Tapi… sekarang yang bikin gue penasaran itu Kak Mario.”

“Eung….” Respon Naufal singkat yant sejujurnya ia sudah tidak tahu harus berkata apa-apa lagi, karena ia juga tidak berani memberikan spekulasi asal. Namun otaknya hanya tertuju pada satu orang. “Om Jo,” gumamnya.

Kia yang tengah menyeruput minumannya pun mengeryit, “Papa Jo?”

“Eung?” oh, rupanya Naufal tidak sengaja tadi, namun sayang pendengaran Kia begitu tajam.

“Tadi lo bilang 'Om Jo', kenapa? Apa lo ada feeling tentang Papa Jo?”

Naufal menatap ke segala arah. Seharusnya ini cukup ia sembunyikan, kasihan jika Kia jadi kepikiran sepetti ini padahal sebelumnya gadis itu ingin menyudahi mencaritahu hari ini.

“Ngga tau, kepikiran aja sih.” Jawab Naufal.

“Tapi Sadam bilang kalau Papa Jo ngga pernah main tangan kok,”

“Kalau gitu… feeling gue salah.” Cengir Naufal, “Semoga aja aja Bang Mario ngga ada masalah sama keluarganya. Kalau sama temen, ya wajarlah anak muda.”

Kia mengangguk setuju. Ia harap memar yang Mario dapat bukan dari keluarganya.

@makaroon99

Ikhlas.

.

.

Pemakaman Tsabita baru saja selesai. Para pelayat satu per satu meninggalkan area pemakaman, dan kini menyisahkan orang-orang terdekat mendiang Tsabita saja.

Di tanah yang masih basah dan berbunga itu, Alya masih terduduk. Ia masih tertunduk, mencengkram gundukan tanah yang menjadi tempat peristirahatan terakhir sang anak.

Menyesal. Sudah pasti ia merasakan penyesalan. Dadanya sesak karena harus merasakan penyesalan terdalam yang akan ia rasakan seumur hidupnya.

“Maaf.”

Kata itu yang selalu keluar dari mulut Alya. Berulang kali ia ucapkan itu sejak semalam. Menandakan betapa menyesalnya ia pada sang anak.

“Mau berjuta-juta kali kamu mengucap 'maaf', Tsabita ngga akan bisa kembali lagi, Alya.” Ucap Johan yang masih ada di sana.

“Aku jahat sekali, Jo.”

“Ya. Kamu memang jahat sekali, Al.”

”...”

“Tapi Tsabita ngga pernah menganggap kamu seperti itu. Dia sayang kamu, bahkan sampai di akhir hidupnya.”

“Tsabita anak baik.” Ucap Alya tanpa sadar.

“Ya, dia bahkan sangat baik. Dia ngga pernah menaruh rasa benci sedikitpun pada siapa saja yang pernah menyakitinya. Terutama kamu.

Maka dari itu, tolong ikhlaskan Tsabita, Al. Maafmu ngga akan merubah apapun apalagi sampai membuat dia kembali. Tapi ikhlasmu yang saat ini sangat dia butuhkan untuk pulang menuju surga-NYA.” Kata Johan tenang.

Pria itu kemudian mengusap punggung Alya pelan. “Ikhlaskan, Alya. Jangan memberatkannya untuk melangkah. Tsabita ngga akan suka.”

Alya menarik napas, lalu menghembuskannya pelan. “Bita… istirahat yang tenang ya, sayang. Maaf karena Bunda ngga bisa jaga Bita selama Bita di sini. Tapi, Bunda janji, Bunda akan jaga Bita dengan doa Bunda dari sini. Ya, sayang?”

Perlahan, Alya melepas genggamannya. Ia mengusap gundukan tanah itu pelan, mengikhlaskan kepergian anaknya.

“Tsabita udah dengar apa kata Bunda 'kan, nak? Istirahat yang tenang. Kami di sini akan terus berdoa untuk Bita di sana. Baik-baik selalu di sana ya, anak Ayah. Tungguin Ayah sama Bunda di Surga.” Ucap Johan.

Kemudian ia dan Alya berdiri, hendak meninggalkan makam anak mereka. Namun begitu berbalik, ia mendapati Sadam yang sebenarnya juga belum kembali meninggalkan Tsabita sejak semalam di Rumah Sakit.

Johan menepuk pundak laki-laki itu, kemudian Sadam justru menunduk dalam. Pria itu memeluk Sadam, menepuk punggungnya.

“Yang ikhlas ya, Dam. Terima kasih sudah menjaga dan menyayangi anak saya.” Ucapnya lalu melepas pelukannya, kemudian ia pergi menjauh dari pemakaman.

Sementara Sadam kini berlutut di samping makam Tsabita, bersama teman-temannya yang masih setia berdiri di belakangnya.

“Bit? Beneran udah di dalam, ya?” tanyanya pada gundukan tanah penuh bunga itu.

Perih sekali hatinya, kini Tsabitaă…ˇgadis yang ia sayang, sudah berbeda dunia dengannya. Tangisnya semalam, rasa sakitnya semalam ternyata bukanlah mimpi. Namun kenyataan.

“Gimana di sana, tempatnya bagus? Lo ngga sendirian 'kan? Pasti di sana ada temen-temen ya, Bit? Ketemu Mama gue ngga?” tanyanya lagi.

Sadam menunduk dalam. Ia menarik napas dalam, menahan tangisnya, kemudian menengadahkan kepalanya.

“Mendung, Bit. Kayaknya langit juga merasa kehilangan lo deh. Apa jangan-jangan lo di sana lagi sedih juga?” Sadam masih menatap langit, “Jangan, Bit. Lo ngga boleh sedih. Lo harus bahagia di sana.”.

Naufal dan yang lain kini ikut berlutut. Reynard mengusap punggung Sadam, “Keluarin aja, Dam. Jangan ditahan. Tsabita ngga akan marah lo nangis hari ini.”

Ucapan Reynard bak mantra itu, membuat Sadam meneteskan air matanya. Bahkan dalam sekejap, pipinya basah.

Ia menunduk lagi, “Ini ya Bitt alasan lo ngga mau pacaran sama gue? Lo… mau ninggalin gue? Apa ini alasan kenapa di hari terakhir kita ketemu, gue ngerasa lo berbeda, Bit? Ini alasan kenapa gue rasanya ngga ikhlas semalem ninggalin lo, Bit. Bitt… maafin gue belum bisa jaga lo dengan baik. Maaf, Bit.”

“Bukan salah lo, Sadam.” Ucap Javier.

“Bita pergi karena udah takdir-NYA, Dam.” Tambah Naufal.

“Bita udah terlalu lelah berjuang ngga sih, Dam? Makanya dia mutusin buat pergi.” Airin kini ikut bicara.

Dan seketika Sadam tersadar. Tsabita yang lelah mengejar bintang terakhirnyaă…ˇsang Bundaă…ˇ, memilih jalan terakhir.

“Lo berhasil menggapai bintang terakhir lo, Bit. Walau sekarang lo harus kembali ke langit menjadi bintang sungguhan.” Ucap Sadam pelan, “Bit, sampai kapanpun, lo akan jadi bintang buat gue. Tolong bersinar dengan terang di atas sana ya, Bit. Temenin gue terus dari sana.” Tambahnya.

“Dan makasih udah jadi bintang paling berharga untuk gue, Bit. Bintangnya Sadam, selamat istirahat.”

.

.

.

@makaroon99

24 April 2022~

Beberapa saat yang lalu, sebuah mobil ambulance berhenti di depan pintu IGD, mengeluarkan seorang pasien perempuan dengan kondisi yang memilukan.

Tsabita. Gadis itu menjadi korban kecelakaan mobil yang menghantam Halte 127 tepat sebelum taksi yang ia berhentikan berhenti di depan Halte.

Tubuhnya terhimpit bagian depan mobil dan besi bangunan Halte. Butuh sekitar 20 menit untuk melakukan evakuasi.

Dalam perjalanan ke rumah sakit, ia mengalami 2 kali muntah darah. Kondisinya tidak baik-baik saja. Namun, ia masih sadar penuh walau tidak mampu berkata apa-apa.

Begitu ia tiba di IGD, dokter jaga dan seorang dokter lainnya. dr. Alya Shafiraă…ˇBunda dari Tsabita sendiri.

Awalnya, Alya tidak menyadari bahwa itu adalah anaknya. Luka di wajah gadis itu membuat Alya tidak menyadarinya. Apalagi masih cukup banyak darah yang menempel di area wajah.

Setelah suster membersihkan wajah gadis itu, barulah Alya tersadar. Seketika kakinya lemas, tangannya gemetar, matanya berair dan kemudian menangis.

“Ts-Tsabita?” panggil Alya sambil mendekati gadis yang masih terbaring lemah di brangkar rumah sakit itu.

Mata gadis itu melirik ke arah sumber suara, menatapnya sendu. Kening gadis itu mengeryit, karena kembali merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

“dr. Alya, kondisi pasien belum terlalu stabil untuk dilakukan operasi, apakahㅡ”

“Tsabita ini, Bunda.” Alya tidak peduli dengan apa yang dikatakan suster padanya.

Mendengar ucapan sang dokter pada pasien itu, membuat 2 suster yang sedang membersihkan tangan dan perut Tsabita terkejut. Bunda, katanya.

“Tsabita kenapa? Ts-Tsabita… t-tolong, t-tolong hubungi dr. Tirta atau dokter bedah siapapun. TOLONG BANTU ANAK SAYA!!!” Tiba-tiba Alya menjadi histeris.

Mendengar jeritan itu, suster yang berjaga langsung buru-buru menjalankan perintah Alya.

Tsabita, gadis itu terus menatapnya. Dapat dilihat bahwa air matanya mengalir membasahi wajahnya.

“Tsabitaㅡ”

“S-Sakit,” lirih Tsabita sambil memejamkan matanya.

“A-Apanya yang sakit, nak? Nanti Bunda obatin, ya?”

“B-Bunda, s-sakithh….” lirihnya lagi dengan suara parau.

Tak selang beberapa menit, Tirta datang. Kebetulan dokter itu masih berada di ruangannya. Ia langsung menyuruh tim bergerak untuk dilakukan operasi.

Mereka semua bergerak, mendorong brangkar itu menuju ruang operasi. Namun tepat mereka keluar, Johan datang dengan wajah panik.

“Tsabita? Anak Ayah?!” Ucapnya terkejut melihat kondisi anaknya yang memilukan.

Tsabita melirik Johan, “A-Ayah….” Ucapnya pelan.

“Iya, nak. Ayah di sini. Ts-Tsabita anak Ayah yang hebat, bertahan ya, nak.”

“S-Sakit, A-Ayahh….” Tiba-tiba tangan Tsabita menggenggam tangan Johan dengan erat.

Johan membalas genggaman tangan gadis itu, mengusapnya pelan sebelum kemudian menciumnya.

“Tsabita tenang aja, Dokter akan bantu Tsabita. Tsabita yang kuat ya, sayang. Tsabita anak hebat Ayah pasti sembuh, oke?”

Tsabita tidak menjawab ucapan sang Ayah, ia hanya menggenggam tangan kesayangannya itu semakin erat. Keningnya kian mengkerut, menahan sakit.

“Segera bawa ke dalam! Kita tidak punya waktu lagi.” Titah Tirta yang memimpin, kemudian mereka masuk ke dalam Ruang Operasi.

Tidak rela, tapi harus. Johan melepas genggaman tangan sang anak. Namun matanya tidak lepas dari sosok yang kini masih terdiam di hadapannya.

“Kamu keterlaluan, Al.” Ucap Johan, yang jelas didengar Alya dan Tirta.

“dr. Alya, pasien biar saya saja yangㅡ”

“Saya akan ikut, dr. Tirta, s-saya harus menyelamatkan anak saya.” Kemudian Alya ikut masuk ke dalam Ruang Operasi.

Tirta tidak bisa mencegahnya, dan membiarkan Alya masuk ke sana. Kemudian ia mendekati Johan.

“Kami akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan.” Ucapnya.

“Tolong anak saya, Dok.” Pinta Johan.

“Akan kami usahakan.” Balas Tirta, lalu ia kembali ke IGD untuk mengambil sesuatu sebelum masuk ke dalam Ruang Operasi.

Sementara di dalam ruangan dingin tersebut, Alya tidak hentinya terisak. Lengkap dengan jubah hijau, penutup kepala, dan masker, ia mengusap wajah anaknya.

“Ts-Tsabita?”

“Bunda cantik.” Kata itu keluar dari mulut Tsabita dengan lantang.

”...”

“Tapi Bita s-sakit.”

“Iya, nak. Bunda tau. Maaf. Maafin Bunda, Tsabita.”

Belum sempat Tsabita bicara lagi, gadis itu kembali muntah darah. Alya dengan cepat membersihkan wajah anaknya, tidak peduli apapun lagi. Bahkan ia tidak butuh tissue atau semacamnya.

“Dok, kita harus segera memberikan anestesi.” Ujar seorang dokter anestesi yang ada di sana.

Menghela napas, Alya mengangguk sambil menggenggam tangan Tsabita.

Namun baru sempat jarum itu menusuk kulitnya, Tsabita menggenggam tangan Alya sangat kuat, dan menggeleng sekencang yang ia bisa.

Alya dengan cepat menahan dokter anestesi untuk tidak melanjutkan pekerjaannya.

“B-Bita mau s-sama Bunda.” Ucap Tsabita terbata-bata.

“Iya, Tsabita sama Bunda di sini. B-Bunda ngga akan ke mana-mana.”

“B-Bunda say-sayang Bita?”

Alya mengangguk kencang, sambil kembali meneteskan air matanya. Dan ia melihat bibir Tsabita tersenyum, walau gadis itu tengah menahan rasa sakit.

“Anestesi sudah disunㅡ” Tirta yang masuk langsung terdiam melihat Alya dan Tsabita sedang berbincang pelan di tengah.

“B-Bita juga… B-Bita sayang B-Bunda.” Ucapnya tersengal, “T-Tapi Bita b-belum bisa j-jadi bintang hhhh Bunda yah?”

Rasa sakit menusuk dada Alya seketika. Membicarakan tentang 'bintang', iya tahu semuanya. Namun ia jadi tidak bisa mengatakan apapun tentang itu. Terlalu sakit untuknya, karena ia merasa sangat jahat pada anaknya sendiri.

“Sudah, nak. B-Bita udah jadi bintangnya Bunda. Sama seperti Bita jadi bintangnya Ayah dan Sadam. Bita… udah jadi bintangnya Bunda, sayang.”

Gadis itu kembali tersenyum, “Bita berhasil ya, Bun?” bisiknya, “Bintang terakhir Bita… berhasil Bita g-gapai?”

Alya mengangguk, “Iya. Bita berhasil. Bita anak Bunda yang hebat. Sekarang, Bita bertahan ya, kami obatin Bita supayㅡBITA!!!”

Tiba-tiba tubuh Tsabita mengejang. Napasnya kembali tersengal-sengal. Namun dengan mata yant masih sedikit terbuka, gadis itu menatap Bundanya, seakan mengatakan 'terima kasih'.

Dan detik selanjutnya, tubuh itu sudah tidak ada pergerakan. Monitor yang sebelumnya berbunyi putus-putus, kini sudah berubah menjadi satu buah suara tanpa putus dan tidak berhenti berbunyi.

“Tsabita! Tsabita bangun!!” Alya menepuk pipi anaknya, “Tsabita jangan bercanda, nak! Bunda ngga suka!” Ucapnya histeris.

“dr. Alyaㅡ”

“TSABITA!!! TSABITA BANGUN!!! TSABITA BILANG MAU PELUK BUNDA?? INI UDAH ADA BUNDA, AYO BITA BANGUN DAN PELUK BUNDA SEKARANG, NAK!!” Pekiknya tanpa merubah apapun.

“dr. Alya, tenangkan diri anda. Tsabita sudahㅡ”

“TIDAK, DR. TIRTA!! TSABITA HANYA BERMAIN DENGAN SAYA!!! BITA, AYO SAYANG BUKA MATA BITA!!!” Alya terus mengguncang tubuh dingin Tsabita.

“dr. Alya, Tsabita sudah pergi.” Ucap Tirta pelan, “Ikhlaskan anak anda, ya?” sambungnya.

Alya tiba-tiba diam. Ia memeluk anak gadisnya yang kini sudah tidak bernyawa lagi.

Napas Alya memelan, karena ia sadar bahwa sekuat apapun ia mencoba Tsabita bangun, anaknya tidak akan bisa hidup lagi.

“Pasien Tsabita Raㅡ”

“Biar saya aja.” Potong Alya, menghentikan ucapan Tirta.

Alya kembali mendekati anaknya, mengusap wajah anaknya sekali lagi. Membenarkan rambut yang menempel di di wajah pucat gadis itu, lalu ia membuka maskernya.

“Ts-Tsabita Raina,” jedanya, “20 tahun, menghembuskan napas terakhir 24 April 2022, pukul 23.25.” Ucapnya parau.

Wanita itu kemudian memeluk tubuh dingin Tsabita, menangis sambil mendekap sang anak.

“Selamat hari lahir, anak Bunda. Maaf Bunda terlambat. Tidur yang nyenyak ya, sayang.” Bisiknya, lalu mengecup dalam kening gadis itu.

Minggu, 24 April 2022, tepat di usia ke-20 tahun, Tsabita Raina pergi meninggalkan dunia dan kembali ke tempat-NYA.

.

.

.

@makaroon99

Jumat, 22 April 2022~

Tirta Radesva Abimana. Pria yang usianya sudah menginjak setengah abad itu menghampiri wanita yang masih lengkap memakai jas putih khas dokter.

Wanita itu duduk di kantin rumah sakit yang mulai sepi karena sudah lewat maghrib. Dengan teh panas di hadapannya, sesekali wanita itu sesap.

“Sendiri aja, dr. Alya?” Tirta duduk di hadapan Alya, sambil meletakkan secangkir kopi di atas meja.

“Ah, i-iya, dr. Tirta.” Jawab Alya sedikit canggung.

“Suratnya sudah dibaca?” tanyanya to the point.

”...” Alya diam, dia tidak menjawab.

“Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan keluarga kalian, tapi saya tahu hubungan anda dengan gadis bernama Tsabita itu.”

“D-dokter kenal Tsabita?”

Tirta mengangguk, “Dia teman anak saya, dr. Alya. Namanya Sadam. Sadam bilang, Tsabita adalah bintangnya.”

“Sadam? Bintang?” gumamnya tanpa bisa didengar Tirta.

“Saya tidak tau kenapa anda tidak menyukai Tsabita, dan saya rasa saya tidak perlu mengetahuinya karena itu masalah pribadi anda. Tapi, saya sebagai seorang Ayah juga tidak tega melihat ada anak yang terus berusaha untuk mendapatkan perhatian atau bahkan pengakuan dari Ibunya.” Ucap Tirta santai.

Alya tercekat mendengar ucapan pria itu. Pria yang juga bosnya di Rumah Sakit ini.

Namun, bukannya menanggapi ucapan Tirta, Alya justru beberes hendak meninggalkan tempat itu.

“Anda tau, dr. Alya? Saya dan istri saya menunggu kehadiran Sadam selama 7 tahun lamanya.” Ucap Tirta yang berhasil membuat Alya menghentikan aktivitasnya, “Segala macam cara kami lakukan, bahkan putus asa pun juga kami rasakan. Tapi Tuhan Maha Baik, dr. Alya, di tahun ke-8 pernikahan kami, istri saya akhirnya mengandung. Kami sangta bahagia, penantian dan perjuangan kami selama itu tidak sia-sia.” Tambahnya.

”...”

“Ketika Sadam lahir, saya dan istri saya merasa bahwa kami adalah orangtua yang paling bahagia. Kami menyayanginya, merawatnya dengan sebaik mungkin agar Tuhan tidak marah karena kami telah diberikan kepercayaan itu. Sampai suatu hari, Sadam meminta adik, kami berusaha dan berjuang lagi. Tapi sayang, sebelum Tuhan titipkan adik untuk Sadam, istri saya sakit dan akhirnya dia meninggal. Meninggalkan saya dan Sadam yang masih kecil.

Dan sekarang, di depan mata saya, saya melihat ada wanita yang egonya masih sangat tinggi. Yang entah kapan ego itu bisa turun hanya karena masalah kecil di masa lalu. Masalah yang seharusnya tidak menjadi panjang sampai 20 tahun lamanya.”

“D-Dokter Tirta…?”

“Maaf, dr. Alya. Sebenarnya saya tidak ingin ikut campur, tapi coba anda bayangkan perasaan malaikat kecil yang Tuhan titipkan pada anda dan suami anda? Bayangkan perasaannya selama 20 tahun berada di samping anda, namun tidak pernah dianggap bahkan diakui.

dr. Alya, disaat banyak pasangan yang menginginkan seorang anak, banyak pasangan yang berjuang sampai mati-matian tapi belum Tuhan berikan, kenapa anda bisa menyia-nyiakan titipan-NYA? Bukan ingin menggurui, tapi saya ingin anak itu merasakan sosok seorang 'Ibu'.

Surat-surat itu, kalau saya boleh tebak, anda sudah membacanya. Benar 'kan, dr. Alya?”

Ya, Tirta benar, Alya sudah membaca surat-surat itu. Surat yang isinya sama, hanya saja dengan tanggal dan pembuka yang berbeda. Itulah alasan kenapa Alya terdiam merenung di kantin seorang diri menjelang malam seperti ini.

“dr. Tirta… apa saya masih pantas dipanggil 'Ibu' setelah apa yang saya lakukan pada Tsabita?” tanya Alya pelan.

“Kenapa tidak? Apalagi kalau anda memiliki niat untuk memperbaikinya.”

“Saya malu. Saya merasa tidak pantas apalagi untuk mendapat maaf.”

“Jika anda berpikir seperti itu, lalu untuk apa usaha anak anda selama ini, dr. Alya? Dia sangat mengharapkan anda, jadi pikirkan secara baik-baik untuk kebaikan semuanya, dr. Alya.” tatap Tirta pada Alya dalam, namun wanita itu hanya diam.

Tirta kemudian berdiri, “Saya rasa, saya sudah bicara terlalu jauh. Saya permisi.” Kemudian pria itu meninggalkan kantin Rumah Sakit.

Alya termenung. Memikirkan ucapan Tirta yang cukup menohoknya. Dan satu yang tidak pernah ia sadari selama ini, bahwa ia tidak bersyukur atas apa yang ia miliki.

.

.

.

@makaroon99

-Alya dan Johan-

. . . . .

Alya Shafira dan Johan Adhitama. Mereka adalah sepasang suami-istri yang kini berusia 45 tahun. Keduanya udah sudah mengenal sejak duduk di bangku SMA. Keduanya juga menjalin kasih tepat di di hari kelulusan keduanya.

Johan merupakan seorang anak tunggal dari pasangan guru SMP. Hidupnya sederhana namun tidak pernah kekurangan. Sejak kecil pula, ia sudah dilatih menjadi sosok yang mandiri oleh kedua orangtuanya.

Selepas SMA, ia melanjutkan kuliah, mengandalkan beasiswa di sebuah Universitas Negeri. Ia saat itu mengambil jurusan Sastra Inggris. Ya, begitulah Johan, dia sangat menyukai Sastra. Dan Inggris adalah negara yang sangat ingin ia kunjungi.

Berbeda dengan Johan, Alya merupakan anak tunggal sepasang dokter yang juga pengusaha. Orangtuanya ini yang memiliki yayasan pendidikan di mana saat ini Johan mengajar.

Dengan otak cerdasnya, Alya berhasil masuk ke Universitas Negeri dengan mengambil jurusan kedokteran. Keinginannya sejak kecil adalah menjadi seorang dokter yang hebat.

Johan dan Alya masih menjalin hubungan dengan sangat baik di kampus walau mereka berbeda jurusan. Mereka juga digadang menjadi pasangan panutan oleh mahasiswa lainnya. Karena pacaran mereka seakan mengumpulkan dan menyebar energi positif.

4 tahun kuliah, Johan berhasil lulus sebagai sarjana. Sementara Alya harus masih menjalani koas dan serangkaian prosedur lainnya agar bisa mendapat gelar dokter.

Sambil sebagai guru di sebuah SMA, Johan melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2 agar bisa menjadi dosen. Ya, dia sangat ingin mengajar mahasiswa. Menurutnya, itu adalah hal yang sangat keren.

Walau sibuk, ia tidak pernah menurunkan tingkat perhatiannya pada Alya. Dan sifat Johan yang sangat pintar mengatur waktu inilah yang membuat Alya sangat mencintai Johan.

Saat ia sibuk dengan pendidikannya, tidak pernah sekalipun Johan mengeluh. Johan tidak pernah menuntut apapun darinya. Johan sangat mengerti dirinya dan tidak pernah membuatnya merasa sepi.

Dan untuk Alya, Johan adalah orang terbaik bahkan mengalahkan kedua orangtuanya.

Di usia ke-24 tahun, mereka menikah. Memang saat itu mereka masih sibuk kuliah. Alya yang baru menyelesaikan koas, serta Johan yang sedang di penghujung S2.

Mereka menikah secara sah, walau ada sedikit tentangan dari kedua orangtua masing-masing. Takut kalau pernikahan mengganggu karir dan pendidikan, tapi keduanya bersikeras meyakinkan bahwa mereka tidak akan terganggu.

Waktu itu, sebelum menikah, Alya tanpa ragu mengatakan bahwa ia tidak ingin memiliki anak. Ia ingin fokus dengan karir dan suaminya. Ia tidak ingin seperti orangtuanya yang selama ia hidup sangat jarang memiliki waktu untuknya karena sibuk mengurusi hidup dan nyawa orang lain.

Ya, maka dari itu ia bilang kalau Johan adalah orang terbaik melebihi orangtuanya. Karena bersama Johan, ia bisa mendapatkan segalanya terutama perhatian dan kasih sayang.

Johan saat itu mengerti akan ketakutan istrinya, ia pun tidak masalah jika tidak memiliki anak. Atau hidup berdua pun tidak masalah.

Tapi suatu hari, mereka tidak bermain aman dan akhirnya Alya mengandung benih di rahimnya. Dan dia adalah anak yang kini bernama Tsabita.

Alya marah, ia kecewa. Ia kecewa pada dirinya sendiri karena harus mengandung. Dan karena ia hamil, pendidikannya sempat tersendat karena kehamilan pertamanya itu membuatnya sangat kesulitan. Ia menjadi rewel. Kalau kata Alya, anaknya manja.

Banyak kata 'seandainya' dalam benak Alya sejak awal kehamilan sampai melahirkan. Terutama, “Seandainya aku berani menggugurkan anak ini.”

Dan di usia ke 25 tahun, Alya melahirkan bayi perempuan yang kemudian diberi nama oleh suaminya, Tsabita. Yang artinya kokoh serta tegar hati. Ya, Johan ingin anaknya menjadi sosok yang demikian.

Namun, Alya adalah Alya. Jika sudah maunya, harus berjalan dengan sesuai rencana. Ia yang tidak berniat sedikitpun memiliki anak, tidak pernah melirik Tsabita. Wanita itu tidak mau mengurusnya, bahkan menyusuinya saja tidak.

Orangtua Alya yang semula tidak peduli semakin tidak peduli. Mereka hanya memikirkan karir yang kemudian bersantai ria di usia tua. Sementara orangtua Johan tidak berani mengurus bayi kecil itu karena Alya melarang siapapun datang ke rumahnya.

Alhasil, Johan sendirian mengurus Tsabita. Lalu apa yang dilakukan Alya? Meneruskan kegiatanya, mengejar karirnya tanpa memikirkan sang buah hati.

Hingga suatu hari ketika usia Tsabita menginjak 3 tahun, Alya mengutarakan isi hatinya pada sang suami kalau ia cemburu. Johan seakan sibuk dengan Tsabita sehingga perhatian untuknya berkurang. Padahal, Johan sudah berusaha seadil-adilnya.

Mungkin kalian akan berpikir bahwa Alya aneh dan semacamnya, tapi itu adalah perasaan obsesi. Obsesi yang terbentuk karena dari Johan lah ia bisa mendapatkan semuanya; kasih sayang, perhatian, dan waktu, ya kecuali uang. Karena Alya tidak butuh itu dari Johan.

Tapi si kecil Tsabita, merubah semuanya. Itu menurutnya. Hingga detik ini, Alya masih terus merasakan amarah yang memuncak, karena ia rasa bahwa gadis yang tahun depan menginjak 20 tahun itu adalah sebuah kesalahan besar dan perusak kebahagiaannya yang kedua; setelah orangtuanya.

Karena itulah ia menyembunyikan identitas Tsabita. Dia ingin tetap dianggap tidak memiliki anak. Dia ingin tetap dianggap bahagia berdua saja dengan Johan. Dan dia ingin tetap bersama suaminya.

Walau ia sendiri pada akhirnya harus mengancam karir suaminya, yang saat ini bekerja di bawah Yayasan miliknya, dan juga di mana sang anak menimba ilmu.

Dan ya, dia adalah Alya, orangtua yang cemburu pada anaknya sendiri.

. . .

@makaroon99