makaroon99

Usai berkelut dengan pikirannya, akhirnya Naresh mendekati Hasa yang sejak beberapa menit lalu hanya bersandar di kursi meja makan.

“Sa, sarapannya ngga dihabisin?” tanyanya pelan.

Hasa membuka matanya sedikit, lalu ia menggeleng, “Gue kenyang, Resh.”

“Oatmeal buatan gue ngga enak, ya, Sa?”

Mendengar pertanyaan Naresh, Hasa kemudian duduk dengan tegak dan menatap kembarannya itu.

Read more...

Naresh dan Rafa akhirnya pulang berdua menggunakan mobil setelah Adam minta untuk mereka pulang lebih dulu.

Di jalan yang sepi dengan ditemani tiang lampu jalanan, keduanya menikmati kesunyian di dalam mobil yang sangat dingin.

Memang tidak jarang mereka diam seperti ini, tapi untuk malam ini, rasanya sangat berbeda dari biasanya.

Apalagi jika bukan karena perdebatan beberapa jam lalu. Bohong jika tidak mereka pikirkan, terutama Rafa, ia yang terlibat langsung dengan perdebatan dengan kakak dan adiknya.

Read more...

Adam duduk di sebuah kursi yang ada di halaman rumah sakit. Hanya dengan dibalut kaos lengan panjang yang tipis dan celana training, ia ditemani sepi dan dingin.

Sudah beberapa menit ia duduk di sana, menatap kosong apa yang ada di hadapannya namun dengan pikiran semrawut.

Tentu saja demikian, masalah yang sebelumnya belum terselesaikan, sudah ditambah lagi. Hasa dan Naresh. Pokok semrawut pikirannya hari ini.

Tapi, bukan bermaksud bahwa si kembar adalah masalah untuknya. Yang jadi masalah adalah ketidaktahuan ia tentang Hasa, padahal ia sangat tahu Naresh.

Read more...

Beberapa saat ketika Hasa dengar tidak ada suara ribut lagi, ia memberanikan diri membuka pintu kaamr Adam. Ia mengintip keluar dan melihat bahwa 2 kakaknya tengah duduk terdiam. Tidak ada Arsen di sana, yang artinya mereka sudah selesai.

Dengan takut, Hasa melangkah mendekati kedua kakaknya, “Mas, Kak, Naresh kumat lagi.”

Sedetik kemudian, Adam dan Rafa melesat ke dalam kamar untuk melihat keadaan Naresh. Dan benar, si bungsu tengah memegangi kepalanya yang sakit.

Beberapa saat kemudian, Adam dan Rafa membawa ke rumah sakit. Dan lagi, Hasa didiamkan begitu saja seakan dia tak ada di sana.

Read more...

Giantama Bros sudah berkumpul di ruang tengah. Dengan tv menyala, mereka membuka kotak pizza yang dibawa Adam dan segera menyantapnya.

Adam membawa 2 kotak dengan pinggiran keju dan 1 kotak dengan pinggiran sosis. Katanya, ia sedang ada rezeki hari ini sehingga bisa membawa makanan enak untuk adik-adiknya.

Read more...

Hasa baru saja memarkirkan motornya di halaman rumah. Hari ini ia dan Naresh pulang sedikit terlambat karena ia ada kegiatan kecil di ekskul radio sekolahnya. Hanya bantu-bantu sedikit kok.

Naresh masuk lebih dahulu sebelum meletakkan helm pada rak yang ada, kemudian disusul Hasa di belakangnya.

Terlihat kakak-kakaknya sudah pulang dan kini tengah menyiapkan makan malam. Adam dan Rafa tentunya. Sementara Arsen baru selesai dari kamar mandi dengan rambut basah.

“Masak apa, mas?” tanya Naresh.

“Kerang balado sama cumi asam manis, tadi dikasih teman yang punya usaha seafood. Tapi Mas sama Kakak bikin nggak terlalu pedas, ya.” Jawab Adam.

Mata Naresh seketika berbinar, mengingat itu adalah makanan kesukaannya. Sementara Hasa, usai salaman dengan para kakaknya, ia langsung naik ke atas. Seperti biasa, ia akan mandi terlebih dahulu lalu bergantian dengan Naresh.

Hanya 15 menit waktu yang Hasa butuhkan untuk bersih-bersih, ia langsung turun dan sedikit membantu sisa pekerjaan kakak-kakaknya di dapur.

Belum sempat ia menyentuh bekas peralatan masak yang kotor di wastafel, Adam memanggilnya untuk duduk.

Entah feeling atau apa, Hasa jadi teringat tentang perasaannya yang siang tadi tidak enak. Apa iya berhubungan dengan mereka? Batinnya

“Kenapa, Mas?” tanya Hasa setelah duduk.

Adam, Rafa, dan Arsen saling melempar pandang. Hal itu membuat Hasa jauh lebih gugup dari sebelumnya.

“Sa, kami udah ngumpulin biaya untuk uang muka operasinya Naresh.” Buka Adam.

“Oh, ya? Syukur kalau gitu, Mas.” Napas Hasa lega dengan senyum tulusnya.

“Tapi masih kurang. Kami butuh biaya tambahan, Sa.”

Hasa mengeryit, seketika perasaan tidak enaknya itu kembali lagi. “Hmm, lalu… Hasa harus apa, Mas?”

“Lo bisa bantu kami, Sa?” tanya Rafa.

“Bantu gimana? Kakak 'kan tau sendiri Hasa ngga punya tabungan.” Jawab Hasa.

“Motor,” ucap Rafa pelan sedikit tidak enak.

“Maksudnya, Hasa harus jual motor?” tembaknya.

Adam dan Rafa mengangguk, “Cuma itu yang bisa bantu menutup uang muka, Sa. Gimana?” tanya Adam.

“T-tapi itu 'kan peninggalan Ayah, Mas.” Nada bicara Hasa menurun pelan.

“Kami tau, makanya kami tanya kamu dulu.”

Hasa terdiam untuk beberapa saat, tangannya meremat celana training yang ia kenakan. Matanya melirik ketiga kakaknya ragu.

“H-Hasa ngga tau,” 3 kata keraguan itu keluar dari mulut Hasa.

“Demi Naresh, Sa. Lo ngga mau liat Naresh sembuh? Lo tega dia ngerasain sakit lama-lama?” tanya Rafa yang sedikit terbakar.

Arsen menegur Rafa lewat tatapan tajam dan kening yang sedikit mengeryit. Ia pikir, tindakan Rafa barusan justru membuat Hasa tertekan. Ia juga bisa melihat bahwa Hasa sangat keberatan dengan usul itu.

“Hasa, pikirkan baik-baik, ya? Untuk Naresh.” Kata Adam pelan.

Hasa masih diam, bahkan mulutnya tidak terbuka sedikitpun. Tatapannya masih kosong ke tengah meja, sementara giginya bergemeletuk pelan. Sepertinya ia tengah merasakan kegundahan.

Melihat Hasa yang tidak kunjung menjawab, Arsen akhirnya kembali bicara.

“Kalau gitu jual motor gue aja.”

Ucapan Arsen tentu membuat mereka yang ada di sana terkejut. Terutama Hasa.

“B-bang?” gumam Hasa.

“Lo serius, Sen?!” Rafa tentu tidak percaya.

“Kalau Hasa ngga mau jual motornya, jual aja motor gue. Bisa nutup uang muka bahkan perawatan pasca operasi. Beres, 'kan?” ucap Arsen lantang.

“Sen, itu motor lo dapetin dengan penuh perjuangan banget lho.” Komentar Adam.

“Demi Naresh, 'kan? Ya udah.” Jawab Arsen enteng.

Mendengar jawaban Arsen, Rafa melirik Hasa. Tentu laki-laki 18 tahun itu menangkap sinyal Rafa yang memiliki arti.

“Jangan, Bang! Hasa tau banget perjuangan Abang dapetin motor itu, jangan dijual. Biar Hasa aja yang lepas motor Ayah.” Kata Hasa cepat.

“Tapi, Saㅡ”

“Ngga apa-apa, Bang. Lagipula motor Abang masih bagus banget, kalau motor Hasa kan udah mulai nakal. Kayaknya ngga apa-apa motornya Hasa lepas. Yang penting Naresh sembuh, ya?” jelasnya.

Adam dan Rafa mengulas senyum kecil mereka terhadap Hasa. Sementara Arsen justru kebalikannya. Lalu ia menatap Rafa tajam tanpa sang kakak tahu.

Sementara Hasa merasakan dadanya berat. Sepertinya karena ia sedih. Namun, dengan akting yang cukup bagus, ia bersikap biasa saja.

Bahkan sampai makan malam selesai dan ia kembali ke kamarnya.


@makaroon99

Sudah 2 hari sejak Naresh pulang dari rumah sakit, keadaannya sudah membaik dan mulai minim keluhan. Tapi tetap saja, ia harus bisa lebih berhati-hati agar kejadian beberapa hari lalu tidak terulang.

Untuk jaga-jaga, sementara ini Naresh bertukar tempat dengan Arsen. Awalnya Arsen tidak mau, tapi karena malas ribut dengan kakak-kakaknya, ia pun mengalah. Toh tidak akan lama.

Sementara Hasa, ia belum sempat bicara dengan Naresh. Ia pikir, biarlah kembarannya istirahat terlebih dahulu ketika di rumah sakit kemarin. Dia tidak ingin membuat mood Naresh jelek lagi, walau dua kakak tertuanya sudah tidak sabaran ingin mendengar jawaban Naresh jika Hasa yang mengajak bicara.


Hari ini, Jumat, Hasa pulang lebih cepat lagi karena para guru tengah mengadakan rapat. Dengan tas berat di punggung, Hasa juga menenteng sebuah plastik di tangan kanannya.

Dengan langkah jenjangnya, Hasa menghampiri Naresh yang saat itu sedang menonton tv di ruang tengah.

“Apa nih?” tanya Naresh begitu Hasa memberikan kantong plastik padanya.

“Corndog mozarella sama bubble tea.” Jawab Hasa.

“Buat gue?”

Hasa mengangguk.

“Wah! Makasih, ya! Punya lo mana?” Naresh menatap Hasa.

“Udah gue makan di sana, abis laper banget. Jadi punya lo aja yang gue bawa pulang.”

Hasa tentu saja berbohong. Dengan uang jajan yang sedikit, mana bisa ia membeli 2 porsi corndog dan bubble tea.

“Mau lagi ngga? Bagi dua?” tawar Naresh.

Laki-laki itu menggeleng, “Makan aja diabisin. Gue ganti baju dulu.” Katanya lalu melenggang ke kamar.

Di dalam kamar, Hasa terdiam beberapa saat. Bahkan setelah pakaiannya terganti, ia masih diam. Naresh sedang sedang stabil sekarang, namun ia takut jika kembarannya kembali berubah setelah disinggung mengenai operasi.

Hasa menepuk-nepuk dadanya, menarik-keluar napasnya perlahan dan teratur agar tidak gugup.

“Ayo, Hasa!” Ucapnya semangat, lalu kembali turun ke bawah guna menemui Naresh.

Sementara Naresh di bawah yang baru menelan makanan di gigitan terakhir, menoleh kembali ketika Hasa duduk di sebelahnya

“Mau ngga?” ia menawari Hasa minumannya yang tinggal setengah.

Hasa menggeleng, “Abisin aja.” Jawabnya.

Naresh pun mengangguk dan melanjutkan acara minumnya.

“Kepala lo masih suka sakit?” tanya Hasa.

“Sedikit sih, tapi biasa lah.”

“Lain kali lebih hati-hati, ya, Resh? Gue khawatir.”

Naresh melirik Hasa, “Maaf, ya.”

“Ngga usah minta maaf, gue cuma mau lo hati-hati, Resh. Kalau kayak kemarin lagi 'kan bahaya.”

“Eung, iya. Sorry, ya.”

Hasa mengangguk, lalu ia menarik napas dalam, “Lo apa ngga mau ada tindakan aja, Resh?”

Naresh yang semula menatap layar tv, kini kembali menatap Hasa, “Disuruh Mas Adam? Apa Kak Rafa?” tembaknya ketuk.

Dengan cepat, Hasa menggeleng, “Engga! Mereka bahkan ngga bicara apa-apa setelah lo nolak. Ini… pertanyaan dari gue aja.”

“Gue ngga mau jadi idiot, Sa.”

Hasa mengeryit,

“Gue baca di internet, orang yang bedah otak itu ada kemungkinan mengalami perubahan psikologis. Juga amnesia. Nanti kalau gue ngga inget lo, gimana?”

“Itu cuma kemungkinan, daripada lo sakit terus.”

“Ngga.”

“Resh?”

“Lo tau biayanya sebesar apa ngga? Gaji Mas sama Kakak setahun aja masih jauh dari kata cukup, Hasa. Kalau gue operasi, belum tentu gue selamat? Kalau gue mati, duit yang dipake jadi sia-sia?”

Plakk

Refleks, Hasa memukul punggung tangan Naresh, “Apaan sih ngomongin mati? Lagian kenapa harus pesimis duluan coba?”

“Takut, Sa. Lo ngga ngerasain aja jadi gue.” Suara Naresh melemah.

Hasa kini menatap Naresh kembali, “Gue emang ngga ngerasain ketakutan lo, tapi gue ngerasain sebagian apa yang lo rasa. Kita kembar kalau lo lupa, ikatan batin kita erat banget, Resh. Gue sedih kalau lo sakit, pun dengan yang lain. Seakan kita pengen kalau rasa sakit lo bisa dibagi.

Siapa tau, Resh, setelah operasi lo bisa jauh lebih sehat. Lo ngga akan ngerasain sakit lagi, lo bisa bebas ngapain aja kayak dulu.”

”...”

“Gue ngga akan maksa sih, tapi gue berharap lo bisa mikirin semuanya sebaik mungkin. Demi Giantama Bros, Resh. Kami mau yang terbaik dan akan mengusahakan yang terbaik untuk lo.” Tambah Hasa.

“Tapi, kalau nanti gue mati gimana?” bisik Naresh.

“Gue ikut.”

Naresh menatap Hasa tajam, “Ngapain ikut?”

“Ya biar lo ada temennya di sana.”

“Jangan lah! Kasian Mas, Abang, sama Kakak.”

“Makanya lo jangan mati! Optimis kalau semua berhasil dan kita bisa kayak dulu lagi.”

“T-tapi…ㅡ”

“Setuju atau engga dulu, ngga usah pakai tapi. Gue bakal bersyukur dan berterima kasih banget kalau lo mau ikutin saran gue dan yang lain. Kami mau yang terbaik untuk lo, Naresh. Apapun itu.”

Naresh terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya ia bangkit dari sofa, “Nanti gue pikirin lagi.”

Kemudian, Naresh beranjak dari ruang tengah, sementara Hasa masih terdiam di sana menatap punggung kembarannya yang kemudian hilang di balik pintu.


. . . @makaroon

Nama Giantama memiliki arti penuh daya cipta, naluri, dan filosofis. Seseorang dengan nama ini memiliki kegemaran membaca, belajar sejarah, dan berkelana. Mereka juga tipe orang yang tidak suka mencampuri urusan orang lain.

Tapi untuk Giantama bersaudara, arti nama di atas tidaklah penting, karena yang mereka ketahui, nama itu tercipta dari kedua nama kadua orangtua mereka. Gia dan Tama, yang jadilah Giantama.

Sedikit cerita tentang Giantama bersaudara, mereka adalah 5 anak laki-laki pasangan Gia dan Tama yang telah meninggal pada tahun 2017ㅡ4 tahun yang lalu karena sebuah kecelakaan kapal laut.

Saat itu, usia si sulung masih 22 tahun. Ia baru saja menyelesaikan kuliah sarjananya, namun belum sempat di wisuda. Tepatnya sebulan sebelum wisuda, ia mendapat kabar kedua orangtuanya kecelakaan. Akhirnya ia di wisuda hanya dihadiri adik-adiknya, yang malah tadinya tidak mau ikut wisuda.

Sementara si nomor 2, saat itu usianya 20 tahun. Rafa yang saat itu baru akan naik ke semester 5, memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliahnya. Ia juga yang baru membuka kafe bersama sahabatnya pun akhirnya bekerja di sana untuk penghasilan bulanannya.

Ya untungnya saat itu, si sulung sendiri langsung mendapat pekerjaan. Di perusahaan penerbit yang sampai saat ini masih ia geluti, bahkan yang semula hanya jadi asisten atau tukang bantu-bantu karyawan tetap, kini menjadi seorang editor.

Lalu bagaimana dengan si tengah? Ia yang paling dekat dengan Ayah dan Bundanya tentu syok atas kepergian keduanya yang bersamaan. Arsen bahkan sempat tidak makan teratur selama sebulan, menunda kuliahnya karena sudah tidak ada semangat sama sekali. Tapi, untunglah dia anak berprestasi, tahun berikutnya ia berhasil mendapat beasiswa dari Universitas swasta, sehingga meringankan beban keuangan kakak-kakaknya.

Dan untuk 2 bungsu kembar, kehilangan itu memang sangat menyakitkan, apalagi saat itu usia mereka masih 14 tahun. Juga masih dipertengahan masa SMP, masih labil, dan masih sangat butuh perhatian orangtua. Namun keduanya tidak banyak menangis walau sedih.

Terutama Hasa. Ia pikir, jika ia menangis, siapa yang menghapus air mata saudaranya yang lain? Belum lagi ketika ia tahu bahwa Naresh kerap kali menangis diam-diam setiap malam sejak kejadian itu, membuat Hasa semakin tak ingin menangis.

Dan kepergian kedua orangtua mereka tentu saja menjadi mimpi terburuk.

Adam. Ia harus rela lembur di kantor agar setiap bulannya bisa dapat gaji lebih. Karena jika hanya mengandalkan gaji pokok, kebutuhan rumah tidak akan tertutup. Belum lagi cicilan rumah yang mereka tempati ini belum selesai. Terhitung masih 2 tahunan lagi. Belum listrik, air, sekolah si kembar, dan jajan adik-adik.

Namun bersyukur, Rafa ikut membantunya. Walau penghasilan di kafe perbulannya tidak seberapa, ia masih bisa mengisi penuh kulkas dan lemari camilan, atau untuk bayar tagihan listrik. Ya walau ia agak pelit karena harus menabung.

Prinsipnya, menabung sedikit asal terisi. Karena ia takkan tahu di hari berikutnya apakah masih punya uang atau tidak. Dan setidaknya, jika hal buruk terjadi, ia masih punya pegangan untuk makan bersama kakak dan adik-adiknya.

Dan syukurnya lagi, Arsen ikut bergabung dalam band yang dibentuk sejak SMA. Jika setiap minggu ia tampil, ia sudah bisa mengantungi uang jajan untuk seminggu sehingga tidak perlu minta pada kakak-kakaknya.

Sehingga saat ini yang masih bergantung penuh pada Adam dan Rafa adalah Hasa dan Naresh. Mengingat mereka tidak punya tabungan seperti orang-orang, karena saat orangtuanya masih ada saja, mereka jajan seadanya.

Yah, saat itu mereka juga tidak berharap banyak pada orangtua yang bekerja sebagai karyawan swasta. Hidup mereka sederhana. Masih bisa makan dan jajan, atau setiap weekend makan keluar saja mereka sudah sangat bersyukur.

Dan memang, yang paling merasa tanggung jawabnya besar adalah Adam. Biarpun Rafa membantu keuangan rumah tangga, tetap saja ia sulung. Ia bertanggungjawab untuk keempat adiknya.

Hingga membuat si sulung hanya fokus dengan pekerjaan tanpa memikirkan hal lain. Karena ia ingin adik-adiknya tidak merasakan kesulitannya, setidaknya sampai si bungsu selesai kuliah nanti.

.

.

@makaroon99

Aqilla.

🌼

🌼

Pukul 1 siang, Jayden sudah tiba di kafe sederhana yang dikirim oleh Shella tadi pagi. Setibanya di sana, ia sudah melihat wanita 25 tahun itu duduk di salah satu meja kosong.

Ketika kedua mata mereka bertemu, Shella tersenyum manis dan menyapa Jayden dengan begitu ramah. Ah, pantas saja Aqilla akrab, Kak Shella seramah ini. Pikir Jayden.

Laki-laki itu pun akhirnya duduk di hadapan Shella, berkenalan secara resmi sekali lagi sebelum akhirnya membahas Aqilla.

Aqilla, gadis yang belum genap 17 tahun itu adalah salah satu pasien dr. Raina, psikiater unggulan di RS Permata, milik Jeremy, kakek dari Jayden.

Sudah hampir 2 tahun ini gadis itu masih rutin kontrol ke sana karena masalah mental yang diderita. Ah, sebenarnya bukan mental yang seperti itu, hanya saja menurut Shella, gadis yang ia kenal selama 5 tahun itu berbeda dengan yang lainnya.

Pertama kenal dengan Aqilla 5 tahun lalu, ketika ia dan anak-anak Panti milik sang nenek tengah berlibur ke suatu daerah di Bandung. Ia melihat Aqilla duduk sendirian di sebuah bangku, namun matanya menatap nanar ke arah anak-anak panti.

Shella pikir, Aqilla hanya penduduk, rupanya ia juga pengunjung. Hanya saja, Aqilla tidak diajak bermain dengan Tasya yang saat itu bermain dengan rekannya yang juga diajak bertamasya.

Aqilla akhirnya dihampiri Shella dan beberapa anak panti, mereka mengajak gadis itu bermain sampai ia dipanggil oleh bagian informasi karena dikira hilang. Sebelum berpisah, Aqilla ditinggalkan kartu milik Panti oleh Shella.

Sejak itu, Aqilla suka main ke Panti walau jaraknya cukup jauh dari rumah. Sekitar 1,5 jam menaiki bus Kota.

Di tahun kedua Shella mengenal Aqilla, barulah ia melihat gelagat aneh dari gadis itu. Tepatnya ketika Aqilla hampir jadi korban penculikan jika saat itu Shella tidak bergerak cepat.

Saat itu Aqilla berusia 14 tahun, ia dihampiri sepasang suami-istri, ditanyai nama, umur, nama orangtua dan banyak. Dengan mudahnya Aqilla menyebutkan hingga drama terjadi. Shella dan orang itu berebut, memutarbalikkan fakta.

Ketika ditanya kenapa Aqilla percaya dengan orang itu, ia mengatakan bahwa 'mereka orang baik'.

Di usia Aqilla yang ke-15, Shella akhirnya memberanikan diri untuk membawa gadis itu ke psikiater. Cukup mahal memang, tapi itu satu-satunya cara agar Aqilla bisa terbuka dan ia tahu permasalahan gadis itu.

2 pertemuan, Aqilla tidak bicara apapun. Dia takut. Dia tidak takut dengan orang asing di luar sana, tapi dia takut dengan dokter atau orang-orang berjas lainnya.

Di pertemuan ke-3, barulah gadis itu mau bicara walau harus melakukan hipnotis untuk relaksasi.

Cerita pertama yang keluar dari mulut Aqilla ketika ditanya ia kenapa cukup membuat Shella terkejut.

“Kata Om sama Tante, itu bentuk dari rasa sayang dan peduli mereka ke Aqilla. Mereka mau Aqilla jadi anak yang dewasa dan mandiri. Jadi, Aqilla harus nurut dan ngga boleh ngeluh.” Ujar gadis 15 tahun itu.

Dan akhirnya ia tahu, bahwa perlakuan dan penanaman pikiran yang salah dilakukan oleh Om dan Tante Aqilla.

Aqilla bilang, di rumah ia selalu membantu Om dan Tantenya bersih-bersih rumah, mencuci, setrika, bahkan memasak. Tak jarang juga Aqilla dimarahi dan dibentak oleh orang rumah.

Bahkan itu sudah ia lakukan sejak kecil. Aqilla juga mengaku bahwa tidak ada pendidikan lagi yang dipelajari selain ketika di sekolah.

Ia mengerjakan PR dan semua tugas sekolahnya sendiri. Ketika ia kesulitan pun, bukan dibantu justru dipaksa untuk mengurusnya sendiri.

Tidak ada yang membantu Aqilla karena keluarga yang gadis itu miliki hanya Om dan Tantenya ituㅡsebagai keluarga terdekat.

Dan ketika Aqilla ditanya kenapa tidak melawan atau menceritakan hal ini pada orang lain sejak dulu, jawabannya membuat Shella semakin merasa terkejut.

Ia takut dipukul. Karena saat kecil, ia pernah dipuk hingga terluka. Maka dari itu ia hanya diam dan menyimpan rapat sendirian.

Menurut dr. Raina sendiri pun, alasan kenapa Aqilla 'kekanakkan' dan nampak terlalu ceria, karena gadis itu dipaksa untuk menutup semua masalahnya. Semua hanya topeng belaka.

Tapi pada akhirnya, Aqilla tidak menyadari bahwa ia masih menggunakan topeng, sehingga pola pikirnya berubah terhadap mereka yang menyakitinya.

Makanya, Aqilla selalu menganggap Tasya dan kedua orangtuanya baik, karena yang ada dalam pikirannya, mereka adalah orang yang sudah sangat membantu Aqilla sejak ditinggal orangtuanya.

Aqilla menanamkan pada otaknya bahwa mereka adalah orang baik, semua perlakuan dan kata-kata yang dia terima adalah bentuk kasih sayang dan perhatian, dan juga menimbulkan rasa di mana jika tidak ada mereka, ia tidak bisa sampai di hari ini.

Padahal, otak dan pikirannya sudah dimanipulasi sejak usia dini.

.

.

.

@makaroon99

ㅡPanti

🌼

🌼

Galen dan 3 sahabatnya kini masuk ke area Panti Asuhan. Seperti yang Reza katakan tadi, Aqilla benar ada di sana bahkan sedang bermain dengan beberapa anak panti.

Tatapan mereka bertemu dengan Aqilla yang nampak terkejut, namun kemudian berbinar ketika melihat Galen.

“Kok kalian bisa ke sini?” tanya Aqilla.

“Iya, udah janji sama pengurus panti.” Jawab Jayden.

“Lo ngapain? Abis stalking Galen, ya, semalem?” tanya Hazen penasaran.

“Uhm? Engga kok. Aku emang ke sini hampir setiap minggu. Tanya aja Ibu kalau ngga percaya.” Elak Aqilla, namun itu benar adanya.

Jadi, hampir setiap hari minggu, Aqilla akan datang ke Panti Asuhan ini. Biasanya, ia membawa beberapa kantung camilan yang ia beli di agen, katanya biar lebih murah. Setelah itu, ia akan ikut bermain dan makan siang.

Sementara Galen dan teman-temannya adalah sekelompok remaja yang setidaknya sebulan sekali, atau jika senggang 2 minggu sekali ke Panti. Namun, mereka pergi ke tempat yang berbeda biasanya. Dan hari ini mereka ke Panti Asuhan Cipta Pelangi yang ada di pinggir Kota.

Dan siapa sangka jika akhirnya mereka bertemu Aqilla di sini? Semua hanya terjadi secara kebetulan.

Usai Galen cs berbincang dengan pengurus Panti, mereka ikut main dengan anak-anak. Belum terlalu akrab karena masih baru sekali datang ke sini, berbeda dengan Aqilla yang sudah sangat dekat.

Hingga makan siang tiba, remaja itu memilih makan di halaman belakang Panti sementara anak-anak berada di dalam.

“Gue kira lo abis stalking Galen makanya bisa di sini.” Kata Reza pada Aqilla.

Gadis itu menggeleng, “Engga, lagipula mau stalking di mana?”

“Twitter. Lo punya twitter, 'kan?” tanya Hazen.

Kini Aqilla mengangguk, “Iya, tapi nol followers dan nol following.”

“Loh, kenapa ngga follow temen-temen?” kini gantian Jayden yang bertanya.

“Emang perlu, ya?” Aqilla berbalik tanya, “Kan kita bisa saling kontak by chat?”

Galen tersenyum kecil mendengar jawaban Aqilla, lalu yang lain mengangguk. Iyakan saja, kalau kata Hazen.

“Lo apa ngga mau follow Galen gitu?” tanya Reza.

“Buat?”

“Ya siapa tau lo pengen tau Galen lagi ngapain?”

“Kalau itu, aku bisa chat Galen aja langsung.” Cengir Aqilla

“Lo beneran suka sama Galen, ya?” pancing Hazen.

Tidak disangka, Aqilla mengangguk dengan begitu santai.

“Beneran??” Reza dan Jayden kaget.

“Iya, kenapa?” Aqilla menatap para laki-laki itu, pun dengan Galen. Namun, Galen hanya diam menatap piring makan siangnya.

“Kenapa bisa suka sama Galen?” Hazen kembali penasaran.

“Galen baik, keren, pokoknya Galen begini.” Gadis itu menunjukkan 2 jempolnya.

“Karena Galen baik, lo suka?” tanya Jayden.

Aqilla mengangguk semangat.

“Kalau gue, Jayden, sama Reza baik ngga?” Hazen menatap Aqilla.

“Baik.”

“Tapi lo ngga suka sama kita, 'kan?” telisik Reza.

Gadis itu menggeleng, “Engga, 'kan aku sukanya sama Galen.” Lalu ia menatap Galen sambil tersenyum lebar.

Seorang di sana pun ikut tersenyum, namun tidak selebar itu. Tersenyum kecil tepatnya.

Kemudian, kelima remaja itu melanjutkan acara makan siang yang tertunda.

🌼

🌼

@makaroon99