Sudah 2 hari sejak Naresh pulang dari rumah sakit, keadaannya sudah membaik dan mulai minim keluhan. Tapi tetap saja, ia harus bisa lebih berhati-hati agar kejadian beberapa hari lalu tidak terulang.
Untuk jaga-jaga, sementara ini Naresh bertukar tempat dengan Arsen. Awalnya Arsen tidak mau, tapi karena malas ribut dengan kakak-kakaknya, ia pun mengalah. Toh tidak akan lama.
Sementara Hasa, ia belum sempat bicara dengan Naresh. Ia pikir, biarlah kembarannya istirahat terlebih dahulu ketika di rumah sakit kemarin. Dia tidak ingin membuat mood Naresh jelek lagi, walau dua kakak tertuanya sudah tidak sabaran ingin mendengar jawaban Naresh jika Hasa yang mengajak bicara.
Hari ini, Jumat, Hasa pulang lebih cepat lagi karena para guru tengah mengadakan rapat. Dengan tas berat di punggung, Hasa juga menenteng sebuah plastik di tangan kanannya.
Dengan langkah jenjangnya, Hasa menghampiri Naresh yang saat itu sedang menonton tv di ruang tengah.
“Apa nih?” tanya Naresh begitu Hasa memberikan kantong plastik padanya.
“Corndog mozarella sama bubble tea.” Jawab Hasa.
“Buat gue?”
Hasa mengangguk.
“Wah! Makasih, ya! Punya lo mana?” Naresh menatap Hasa.
“Udah gue makan di sana, abis laper banget. Jadi punya lo aja yang gue bawa pulang.”
Hasa tentu saja berbohong. Dengan uang jajan yang sedikit, mana bisa ia membeli 2 porsi corndog dan bubble tea.
“Mau lagi ngga? Bagi dua?” tawar Naresh.
Laki-laki itu menggeleng, “Makan aja diabisin. Gue ganti baju dulu.” Katanya lalu melenggang ke kamar.
Di dalam kamar, Hasa terdiam beberapa saat. Bahkan setelah pakaiannya terganti, ia masih diam. Naresh sedang sedang stabil sekarang, namun ia takut jika kembarannya kembali berubah setelah disinggung mengenai operasi.
Hasa menepuk-nepuk dadanya, menarik-keluar napasnya perlahan dan teratur agar tidak gugup.
“Ayo, Hasa!” Ucapnya semangat, lalu kembali turun ke bawah guna menemui Naresh.
Sementara Naresh di bawah yang baru menelan makanan di gigitan terakhir, menoleh kembali ketika Hasa duduk di sebelahnya
“Mau ngga?” ia menawari Hasa minumannya yang tinggal setengah.
Hasa menggeleng, “Abisin aja.” Jawabnya.
Naresh pun mengangguk dan melanjutkan acara minumnya.
“Kepala lo masih suka sakit?” tanya Hasa.
“Sedikit sih, tapi biasa lah.”
“Lain kali lebih hati-hati, ya, Resh? Gue khawatir.”
Naresh melirik Hasa, “Maaf, ya.”
“Ngga usah minta maaf, gue cuma mau lo hati-hati, Resh. Kalau kayak kemarin lagi 'kan bahaya.”
“Eung, iya. Sorry, ya.”
Hasa mengangguk, lalu ia menarik napas dalam, “Lo apa ngga mau ada tindakan aja, Resh?”
Naresh yang semula menatap layar tv, kini kembali menatap Hasa, “Disuruh Mas Adam? Apa Kak Rafa?” tembaknya ketuk.
Dengan cepat, Hasa menggeleng, “Engga! Mereka bahkan ngga bicara apa-apa setelah lo nolak. Ini… pertanyaan dari gue aja.”
“Gue ngga mau jadi idiot, Sa.”
Hasa mengeryit,
“Gue baca di internet, orang yang bedah otak itu ada kemungkinan mengalami perubahan psikologis. Juga amnesia. Nanti kalau gue ngga inget lo, gimana?”
“Itu cuma kemungkinan, daripada lo sakit terus.”
“Ngga.”
“Resh?”
“Lo tau biayanya sebesar apa ngga? Gaji Mas sama Kakak setahun aja masih jauh dari kata cukup, Hasa. Kalau gue operasi, belum tentu gue selamat? Kalau gue mati, duit yang dipake jadi sia-sia?”
Plakk
Refleks, Hasa memukul punggung tangan Naresh, “Apaan sih ngomongin mati? Lagian kenapa harus pesimis duluan coba?”
“Takut, Sa. Lo ngga ngerasain aja jadi gue.” Suara Naresh melemah.
Hasa kini menatap Naresh kembali, “Gue emang ngga ngerasain ketakutan lo, tapi gue ngerasain sebagian apa yang lo rasa. Kita kembar kalau lo lupa, ikatan batin kita erat banget, Resh. Gue sedih kalau lo sakit, pun dengan yang lain. Seakan kita pengen kalau rasa sakit lo bisa dibagi.
Siapa tau, Resh, setelah operasi lo bisa jauh lebih sehat. Lo ngga akan ngerasain sakit lagi, lo bisa bebas ngapain aja kayak dulu.”
”...”
“Gue ngga akan maksa sih, tapi gue berharap lo bisa mikirin semuanya sebaik mungkin. Demi Giantama Bros, Resh. Kami mau yang terbaik dan akan mengusahakan yang terbaik untuk lo.” Tambah Hasa.
“Tapi, kalau nanti gue mati gimana?” bisik Naresh.
“Gue ikut.”
Naresh menatap Hasa tajam, “Ngapain ikut?”
“Ya biar lo ada temennya di sana.”
“Jangan lah! Kasian Mas, Abang, sama Kakak.”
“Makanya lo jangan mati! Optimis kalau semua berhasil dan kita bisa kayak dulu lagi.”
“T-tapi…ㅡ”
“Setuju atau engga dulu, ngga usah pakai tapi. Gue bakal bersyukur dan berterima kasih banget kalau lo mau ikutin saran gue dan yang lain. Kami mau yang terbaik untuk lo, Naresh. Apapun itu.”
Naresh terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya ia bangkit dari sofa, “Nanti gue pikirin lagi.”
Kemudian, Naresh beranjak dari ruang tengah, sementara Hasa masih terdiam di sana menatap punggung kembarannya yang kemudian hilang di balik pintu.
.
.
.
@makaroon